http://infobmi.blogspot.com/. Powered by Blogger.

Tuesday, January 28, 2014

Migrant Institute Desak Pemerintah Investigasi Kasus Sihatul Alfiyah



Migrant Institute Menyalurkan Dana Sumbangan Buruh Migran ke Erwiana, TKI yang Menjadi Korban Penganiayaan Oleh Majikannya di Hongkong (f.mi)

JAKARTA,
www.kepribangkit.com – Lagi-
lagi kasus kekerasan terhadap
buruh migran Indonesia
terulang. Setidaknya dalam
pekan ini ada 3 berita terkait
penyiksaan buruh migran yang
ramai di bincang. Pertama kasus
penyiksaan buruh migran asal
Ngawi di Hongkong. Kedua
penyiksaan buruh migran asal
Sukabumi di Jeddah, dan
terakhir buruh migran asal
Banyuwangi yang mengalami
koma selama 4 bulan akibat
disiksa majikan di Taiwan.
Erwiana, buruh migran asal
Ngawi mengalami penyiksaan
oleh majikan di Hongkong.
Erwiana sempat melaporkan
kejadian ini pada agensi di
Hongkong, namun jawaban
yang memintanya kembali ke
majikan membuat dirinya nekat
pulang ke Indonesia dengan
kondisi yang memprihatinkan.
Nuraeni, buruh migran asal
Sukabumi menyampaiakan
kepada keluarganya bahwa
selama berkerja, majikannya
kerap memukul dengan benda
keras bahkan hampir sekujur
tubuhnya terdapat luka seperti
pada bagian kaki, tangan, wajah
dan kepalanya. Bahkan
ironisnya, selain disiksa korban
juga tidak dibayar gajinya
selama tiga tahun. Dan terakhir,
keluarga dari Sihatul Alfiyah
yang melaporkan bahwa Sihatul
mengalami penyiksaan dari
majikan dengan bekerja tidak
sesuai kontrak yang
mengakibatkan koma selama 4
bulan.
Lagi-lagi, pemerintah selalu
terlambat bertindak bahkan
terkesan tidak memberi
perlindungan pada BMI (Buruh
Migran Indonesia). Hal ini
seperti yang diungkapkan Adi
Candra Utama, Direktur
Eksekutif Migrant Institute
bahwa pemerintah baru
merespon pengaduan BMI
setelah kasusnya marak di
media. “Jika kasus-kasus BMI ini
tidak terungkap di media, maka
kasusnya akan jalan di tempat
bahkan hilang seperti asap,”
ujar Adi Chandra Utama, Senin
27 Januari 2014.
Lebih lanjut, Adi mencontohkan
kasus yang terjadi pada Sihatul
Alfiyah. “Kasus Sihatul itu
terjadi sejak September 2013
lalu, tapi pemerintah baru
bertindak sekarang ketika
media marak menyoroti kasus-
kasus kekerasan BMI,”
tambahnya.
Malah Adi menyayangkan,
meski sudah terungkap di
media terkadang pemerintah
juga selalu salah bersikap dan
berstatemen, seperti yang
terjadi pada ChristofelDe Haan,
Direktur Pelayanan Pengaduan
TKI – BNP2TKI yang member
pernyataan tak berpihak pada
BMI.
Hal serupa juga terjadi pada
kasus Sihatuul, dimana Direktur
Perlindungan Warga Negara
Indonesia (WNI) dan Badan
Hukum Indonesia (BHI) dari
Kementerian Luar Negeri RI,
Bapak Tatang Razak
menyatakan kejadian yang
menimpa Sihatul bukanlah
akibat penyiksaan oleh majikan,
namun Sihatul mengalami gagal
jantung sebelum dilarikan ke
Rumah Sakit. Pernyataan
Tatang ini menurut Adi sangat
premature. “Kenapa Kemlu
tidak investigasi terlebih dahulu
berdasarkan pihak BMI?”
tandasnya.
Padahal merujuk pada UU No
39/2004 tentang penempatan
dan perlindungan tenaga kerja
Indonesia di luar negeri, “Tugas
monitoring dan perlindungan
buruh migrant di luar negeri
menjadi tanggungjawab
Kementrian Luar Negeri melalui
KJRI/KBRI,”.
Pasal 78 (1) menyebutkan
bahwa “Perwakilan Republik
Indonesia memberikan
perlindungan terhadap TKI di
luar negeri sesuai dengan
peraturan perundang-
undangan serta hukum dan
kebiasaan internasional”.
Klausul monitoring terhadap
buruh migrant juga dijabarkan
dalam pasal selanjutnya yakni
“Dalam rangka pemberian
perlindungan selama masa
penempatan TKI di luar negeri,
Perwakilan Republik Indonesia
melakukan pembinaan dan
pengawasan terhadap
perwakilan pelaksana
penempatan TKI swasta dan TKI
yang ditempatkan di luar
negeri”
Penyiksaan yang menimpa
Erwiana, Nuraini dan terakhir
Sihatul adalah cermin betapa
political will dari pemerintah
dalam memberikan
perlindungan buruh migran
sangatlah minim. Kementrian
Luar Negeri yang menjadi lini
terdepan dalam perlindungan
di negara penempatan belum
menjalankan tanggugjawabnya
dengan maksimal.
Sebagai garda terdepan
perlindungan buruh migran,
seyogyanya Kementrian Luar
Negeri menjadi pihak paling
awal yang mengetahui,
merespon dan menginisiasi
bantuan hukum dan sosial bagi
buruh migran di negara-negara
penempatan tanpa harus
didesak oleh keluarga ataupun
masyarakat. Namun tengoklah
pada kasus Erwiana dan Sihatul,
Kemenlu justru merespon
secara resmi setelah media
ramai melansir kasus-kasus
tersebut.
Pada kasus Sihatul Kemenlu
memfasilitasi negosiasi antara
keluarga dan majikan dengan
hasil sang majikan bersedia
mengganti biaya
pengobatan.Tentu kita
mengapresiasi langkah negosiasi
ini, meski demikian bukan
berarti bahwa penegakan
hukum boleh diabaikan.
Dengan menyatakan tidak
adanya penyiksaan maka
Kemenlu telah
mengesampingkan pengalaman
buruh migrant. Hal ini tentu
melukai rasa keadilan korban.
Karenanya investigasi yang
dilakukan oleh Kemenlu patut
untuk dipertanyakan. Tutur
buruh migrant seharusnya
dapat menjadi entry point bagi
pengungkapan kasus kekerasan
dan perbaiakan sistem
perlindungan, pembinaan dan
pengawasan buruh migrant dan
agensi di negara-negara
penempatan.
Merespon hal ini Migrant
Institut mendesak pemerintah
melalui Kementrian Luar negeri
untuk segera melakukan
investigasi objektif berdasarkan
pihak BMI dan keluarga
korban. Selain itu, Migrant
Institute juga menghimbau
pemerintah untuk segera
membenahi sistem
perlindungan bagi buruh
migrant di negara-negara
penempatan. Diantaranya
dengan pertama,
memaksimalkan peran
pengawasan yang efektif baik
untuk buruh migran maupun
agensi di negara-negara
penempatan.
Kedua, membangun pusat
pengaduan dan perlindungan
bagi buruh migran yang mudah
diakses di negara-negara
penempatan. Ketiga,
memperkuat sistem pendataan
buruh migran yang akurat.
Keempat, mendorong
pemerintah untuk
menyelesaiakan persoalan-
persoalan tersebut melalui jalur
hukum. Kelima, responsive dan
memiliki keberpihakan pada
pengentasan kasus buruh
migrant di luar negeri.
Sumber
Migrant Institute Desak Pemerintah Investigasi Kasus Sihatul Alfiyah
Comments
0 Comments

No comments:

 

Tag

IP

My-Yahoo

Blogger Widget Get This Widget

Histast

Total Pengunjung