http://infobmi.blogspot.com/. Powered by Blogger.

Monday, March 25, 2013

Komersialisasi Bikin Kesejahteraan Buruh Migran Tidak Layak



Poempida Hidayatulloh
Mekanisme perlindungan pemerintah harus berbasis sistem jaminan sosial yang mumpuni dan "sustainable".
JAKARTA, Jaringnews.com - Anggota Komisi IX DPR Poempida Hidayatulloh menilai, masalah kesejahteraan buruh migran itu dikarenakan komersialisasi dari hulu ke hilir yang mengeksploitasi para buruh migran. Sehingga biaya pra keberangkatan sudah sangat tinggi. Ini membuat para buruh migran itu menjadi terbebani.

Hal ini dikemukakan Poempida menanggapi materi pembahasan 'Migrant Workers' pada forum High Level Panel (HLP) of Eminent Person on Post 2015 Development Agenda di Nusa Dua Bali pada tanggal 25 Maret 2013. Acara ini turut dihadiri Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Perdana Menteri Inggris David Cameron, dan Presiden Liberia Ellen Johnson Sirleaf.

Poempida mengatakan, apabila mereka (buruh migran) sukses di tempat mereka bekerja, maka bebannya dapat hilang. Namun apabila terjadi masalah, tidak hanya mereka terbebani oleh masalah yang menimpa mereka.

“Mereka juga terbebani oleh tingginya utang yang harus dibayarkan,” ujarnya dalam rilis yang diterima Jaringnews.com di Jakarta hari ini.

Perlindungan yang harus dilakukan pemerintah, lanjut Poempida, tidak hanya menyentuh masalah kasuistik yang muncul. Namun juga mempersempit ruang yang berpotensi menjadi ajang komersialisasi.

Pengiriman buruh migran ke luar negeri adalah dampak dari ketidakmampuan pemerintah menciptakan lapangan pekerjaan domestik.

“Komersialisasi dalam pengiriman buruh migran menjadi tidak logis, karena tanggung jawab pemerintah dalam melindungi buruh migran ini, menjadi tidak signifikan,” papar politisi Partai Golkar ini.

Karena itu, ungkapnya, mekanisme perlindungan pemerintah pun, harus berbasis sistem jaminan sosial yang mumpuni dan "sustainable".

“Tidak secara kasuistis menjadi beban APBN yang berkelanjutan,” tukas anggota Pansus RUU Perlindungan Pekerja Luar Negeri (RUU PPILN) ini.sumber:jaringnews.com

Hongkong Tolak Izin Tinggal PRT Asing


HONGKONG, KOMPAS.com — Pengadilan banding Hongkong, Senin (25/3/2013), menetapkan, pembantu rumah tangga asing tidak boleh mengajukan izin tinggal permanen.
Kasus yang telah berjalan selama dua tahun itu berpusat pada Evangeline Banao Vallejos, pekerja domestik dari Filipina yang telah bekerja di Hongkong selama 17 tahun.
Para pembantu rumah tangga menyatakan, penolakan izin tinggal bagi mereka merupakan tindakan yang tidak konstitusional.
Di Hongkong, saat ini terdapat sekitar 300.000 pembantu rumah tangga, sebagian besar dari Filipina dan Indonesia.
"Pembantu rumah tangga asing diwajibkan kembali ke negara asal mereka pada akhir kontrak dan telah diberitahu dari awal bahwa masuknya mereka (ke Hongkong) bukan untuk tujuan tinggal," demikian pernyataan keputusan Pengadilan Banding.
"Nona Vallejos, tidak dapat berkata apapun, tetapi tetap tenang," kata kuasa hukumnya, Mark Daly.
"Kami menghargai keputusan, tapi kami tidak setuju," tambah Daly.
"(Keputusan) itu bukan cermin dari nilai-nilai yang harus kita ajarkan kepada generasi muda dan masyarakat," kata Daly.
Vallejos mengajukan banding bersama Daniel Domingo, pembantu rumah tangga asal Filipina lain yang telah bekerja di Hongkong selama 28 tahun.
Masalah izin tinggal merupakan isu sensitif di Hongkong. Para pegiat menyatakan, tidak memberikan izin tinggal kepada para pekerja domestik adalah tindakan diskriminasi.
Eman Villanueva, juru bicara badan Asian Migrant, mengatakan, keputusan itu merupakan "perlakukan tidak adil terhadap pembantu rumah tangga asing di Hongkong."
 
Sumber :
Editor :
Ervan Hardoko

Dua BMI Hong Kong Lolos Tanpa KTKLN







26 Februari 2013, dua Buruh Migran Indonesia (BMI), Rihannu dan Ida kembali berangkat ke Hong Kong dengan maskapai Cathay Pacific Airlines. Keduanya berhasil melewati Imigrasi tanpa Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri (KTKLN) dan berikut adalah kisah mereka yang diceritakan oleh Rihannu dalam dinding Facebooknya.
“Setelah penerbangan selama hampir satu setengah jam dari Denpasar, akhirnya aku sampai di Bandara Soekarno Hatta. Mataku berputar mencari Ida yang tadi satu pesawat denganku dan sama-sama akan melanjutkan perjalanan ke Hong Kong dengan pesawat CX 776. Saat sedang menunggu bagasi claim, tiba-tiba Ida sudah berada di belakangku.” tutur Rihannu.
“Teh, punya KTKLN tidak?” tanyanya, mengagetkan aku yang sedang SMS-an dengan seseorang.
“Punya, tahun kemarin kan aku juga cuti, bikin di Bandung.”
“Mbak Ida tidak punya KTKLN ya?.” tanyaku basa-basi, padahal aku sudah tahu dari Victor kalau Ida ditolak saat akan membuat KTKLN di Bali.
“Iya, kemarin waktu mau bikin ditolak. Harus ada surat ijin dari keluarga lah, surat keterangan dari desa lah, surat keterangan dari Dinas Tenaga Kerja Banyuwangi-lah, mafan (repot).” jawabnya.
“Ya udah, ntar Mbak Ida duluan. Kalau dipersulit nanti saya bantu.” ujarku sok pahlawan.
Setelah semua barang bawaan berada di tangan, segera kami mencari tempat menunggu shuttle bus untuk melanjutkan perjalanan ke terminal 1. Sesampainya di terminal 1 ternyata kami salah tempat. Aku yang sudah nyelonong masuk setelah memberikan tiket untuk dicek petugas, harus keluar lagi saat petugas yang memeriksa tiket Ida mengatakan bahwa kami salah terminal.
“Ye, gimana sih yang memeriksa tiket? Lha tadi tiketku berarti nggak diperiksa tho?.” keluhku pada Ida.
“Iya, gimana sih!” Ida mengamini. Untung saja sebelum memasukkan koper untuk melewati pemeriksaan, aku menunggu Ida terlebih dahulu. Ternyata, si petugas yang tadi memperbolehkan aku masuk mengata kalau kami salah terminal.
“Memang, kita seharusnya di terminal berapa sih?” Aku memang sama sekali tidak meneliti tiket yang kupegang, repot dengan barang bawaan.
“Terminal satu,” Ida menjawab tak yakin sambil melihat kembali tiketnya.
“Eh, terminal dua wooo,” ralatnya. Kami tertawa, kemudian segera berlari ke tempat menunggu shuttle bus yang dapat membawa kami ke terminal 2.
“Sebentar Mbak,” tahan seorang petugas saat aku dan Ida akan cek in. Dia memasukkan moncong dari alat besar yang dipegangnya ke dalam mulut koper kami. Aku memandangi name-tagnya, berharap bisa mengingat nama petugas itu bila dia macam-macam. Ternyata hanya pemeriksaan biasa. Kami lalu antri untuk check in di konter Cathay Pasific.
Ida menyerahkan paspor dan tiketnya pada perempuan cantik di konter maskapai itu. Tadinya kupikir, petugas Cathay Pasific tidak akan menanyakan KTKLN, tidak seperti petugas di maskapai penerbangan “asli” Indonesia seperti Garuda. Namun, dugaanku salah.
“KTKLN-nya mana Mbak?” tanya petugas itu.
“Jawab aja ketinggalan, nggak tau dimana,” bisikku pada Ida. Ida pura-pura sibuk menggeledah tasnya.
“Aduh, nggak ada Mbak, nggak tau dimana,” jawabnya kemudian.
“Maaf Mbak, kalau nggak ada KTKLN saya nggak berani ngasih masuk, takutnya ditolak nanti di Imigrasi,” jawab si petugas.
“Nggak papa Mbak, kasih masuk aja, kan udah ada paspor dan tiketnya, nanti kami jelasin ke imigrasi. Saya ada kok KTKLN, cuma saya lupa nyimpennya di mana. Tadi kami buru-buru dari Denpasar, abis liburan.”
“Oh, mbak juga KTKLN-nya nggak ada ya?” Si petugas gantian menanyaiku.
“Saya punya, tapi lupa nyimpennya di mana. Kami abis liburan, tadi buru-buru ke sini, nggak tau deh ditaruh di mana.” Aku terpaksa berbohong. Padahal KTKLN-ku bersembunyi dengan manis di amplop putih di dalam tas. Aku tidak ingin mengeluarkannya demi solidaritas terhadap sesama BMI, sekaligus ingin menguji seberapa “ajaibnya” KTKLN itu. Kalau aku menyodorkan kartu itu, aku bisa lolos tanpa ditanya ini-itu, tapi itu sama saja aku menutup kesempatan bagi Ida untuk kembali ke Hong Kong dan mengkhianati para aktivis BMI (cieeee).
“Beneran punya KTKLN, bentuknya kayak gimana?” Petugas itu bertanya lagi.
“Iya mbak, KTKLN saya berlaku sampai 2013, nanti petugasnya bisa memeriksa kok. Atasnya merah, bawahnya biru.” Jawabku PD.
“Kayak gini, kan?” Si petugas menunjukkan contoh KTKLN.
“Iya,” jawabku mantap. Ida yang berada di sampingku diam saja.
“Ya udah, saya kasih masuk. Tapi nanti kalau ditolak di Imigrasi, mbak tolong balik ke sini temui saya ya,” pesannya.
“Ini kopernya kami pending (tahan) dulu ya,” lanjutnya seraya menyebatkan label kuning pada bagasi kami berdua.
“Kita berdoa Mbak Ida, tarik nafas lalu baca bismillah 7x,” ujarku pada Ida. Sebetulnya aku sendiri gugup (nervous), takut dipersulit dan tak bisa kembali ke Hong Kong. Apa boleh buat, aku harus nekad.
“Mbak Ida punya internet?, tolong inbok Fendy Ponorogo, minta nomornya Abdul Rahim Sitorus.” Sebelumnya, aku melayangkan sms ke Victor, meminta dia mencari nomor telepon pengacara yang biasa membantu para TKI itu.
Ida tak banyak bicara, hanya menyerahkan Iphonenya ke tanganku. Kuketik nama Fendy.
“Mbak Ida nggak temenan sama Fendy ya?”
“Nggak,” jawabya.
“Ya udah, Bustomi aja,” Aku ingat betul kalau Ida lumayan akrab dengan Bustomi. Maka, dengan memakai Iphone Ida, kuketik inbok ke Bustomi via Facebook.
“Tolong carikan nomor telpon Abdul Rahim Sitorus, Ida dipersulit karena KTKLN.” Aku menulis pesan itu dengan sedikit gugup. Di depan sana terlihat antrian TKW baru yang di tangan mereka tergenggam paspor plus KTKLN. Tak lama kemudian, Bustomi menelpon.
“Hallo, ini Victor ya?” tanya suara di seberang.
“Ini Rihanu,” jawabku tak sabaran.
“Ini bentar lagi Bu Sendra (dari KJRI Hong Kong) mau nelpon. Ini catat dulu nomornya Bu Nunung, sms aja namanya siapa, bilang lagi dipersulit karena KTKLN.” ujar Bustomi.
Aku mencatat nomor telepon yang diberikan, lalu mengirimkan sms seperti arahan Bustomi. Antara berani, geram, dan sedikit panik, aku kembali berkata pada Ida :
“Mbak Ida, kalau si petugas natap mata, tatap balik, jangan takut, baca arrrohmanrirrohiim. Kalau dia galak nggak usah takut, dia nggak berhak mencegah keberangkatan kita. Memang sih ada surat edaran dari BNP2TKI agar maskapai penerbangan dan imigrasi mengecek KTKLN para TKI yang bekerja ke luar negeri. Tapi sebetulnya BNP2TKI nggak berhak mencegah atau membatalkan keberangkatan kita, yang berhak adalah Menteri Tenaga Kerja (tentunya sesuai prosedur cekal yang diatur di Pasal 91 ayat 2 huruf f Undang-undang No.6 tahun 2011 tentang Keimigrasian).” Aku memberi penjelasan pada Ida sesuai dengan apa yang pernah kubaca, entah itu benar atau tidak, aku lupa, saat itu sebetulnya aku juga gugup.
Akhirnya, giliran Ida tiba. Kulihat dia menyerahkan paspornya pada petugas imigrasi. Aku sedikit lega karena Ida senyum-senyum ketika si petugas menanyainya. Dan Alhamdulillah, dia lolos!
Tiba giliranku, kuserahkan paspor dengan hati lumayan deg-degan, si petugas melihat ke arahku, memastikan wajahku sama dengan foto di paspor. Aku yang masih asyik sms-an dengan seseorang, lalu mengangkat muka. Tatapan kami bertemu, si petugas mesem, aku tersenyum.
“Mbak kerja di Hong Kong,” dia memulai pertanyaan.
“Iya,” jawabku
“Cuti ya?”
“Iya, liburan.”
“KTKLN-nya mana?”
“Aduuuh, nggak tau dimana, kami abis liburan di Bali. Saya punya KTKLN tapi lupa nyimpennya di mana. Bapak bisa cek kok, KTKLN saya masih berlaku sampai 2013,” Cerososku. Aku tahu pasti petugas itu tidak bisa mengeceknya, karena KTKLN itu tidak seajaib seperti yang digembar-gemborkan. Entahlah, apa gunanya kartu yang membuat banyak BMI takut pulang itu.
“Di sana ada yang mendampingi?” tanyanya lagi.
“Nggak, saya berdua kok sama mbak Ida, kami habis liburan.” Jawabku nggak nyambung.
“Maksudnya ada yang nganter gitu?” Tanya lagi
“Nggak, saya udah lama kok di sana, bapak bisa cek.”
“Permitnya mana?” Tanyanya. Kukeluarkan KTP Hong Kongku.
“Ya udah, nanti bilang aja mau ngurus dokumen, jangan bilang mau kerja ya,” ujar di petugas sambil mengulurkan pasporku.
“Ok, thanks. Good Luck.” Kuberikan senyuman termanisku padanya, lalu berhambur memeluk Ida yang sudah menungguku.
Huh, huh, huh! Kuhembuskan nafas panjang-panjang. AKhirnya, aku bisa lolos tanpa KTKLN. Cuma modal sedikit nekad, relasi, pengetahuan, keberanian, dan terutama doa!
Aku dan Ida bisa lolos, kamu juga bisa!
Sampai kapan KTKLN akan terus menghantui BMI, meski sekadar pulang menghabiskan waktu liburan cuti di tanah air?. Kebijakan KTKLN benar-benar merugikan. BMI lebih takut pulang ke negeri sendiri dari pada berangkat ke luar negeri,  ini dalah fakta yang benar-benar aneh.

sumber:buruhmigran.or.id

Ahmad, Mengajak Berlari Anak TKI Lewat Lagu



KOMPAS.com - Ahmad Adib Budiman tidak mengira awal perjalanannya sebagai guru mengantarkan dia sampai ke Tawau, Sabah, Malaysia. Anak-anak dari para tenaga kerja Indonesia yang menjadi muridnya. Ternyata malah dari mereka pula Adib terinspirasi untuk menciptakan lagu dan lebih merasa menjadi guru.

Album rekaman yang dirilis Januari 2013 itu bukan album komersial karena sebagian hasilnya untuk disumbangkan. Itu juga bukan album yang dijual di toko-toko CD. Adib dibantu teman-temannya merekam lagu di Yogyakarta. Dia menghabiskan tabungan sekitar Rp 30 juta untuk membiayai ongkos produksi album tersebut.

Menembus Dunia, demikian judul album yang hanya dicetak 250 keping itu. Gambar sampul album tersebut berupa Adib berjalan di tepi pantai sembari menenteng gitar. Ada delapan lagu bercorak pop ia sematkan, yakni ”Guruku”, ”Menembus Dunia”, ”Melodi Hati”, ”Petuah Cinta”, ”Yakinlah”, ”Pertama dan Terakhir”, ”Aku Tak Mengerti”, dan ”Cinta Mimpi”.

Lagu ”Menembus Dunia” dan ”Guruku”, misalnya, berkisah tentang renungan Adib menjalani profesi sebagai guru yang ditugaskan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) di Humana Learning Centre Merotai Kecil, Tawau, setahun terakhir. Humana Learning Centre adalah pusat bimbingan yang dikelola lembaga swadaya masyarakat (LSM) asing. Setahun di Tawau, ia menjumpai realitas yang menyesakkan dada.

Suatu sore datang dua muridnya. Mereka bercerita mengenai persoalan ekonomi keluarga. Seorang siswi bertanya, apakah setelah lulus dia harus melanjutkan sekolah lagi? Siswi itu ingin melanjutkan sekolah. Namun, ibunya menyuruh dia bekerja di kebun kelapa sawit demi membantu keuangan keluarga setelah meninggalnya sang ayah.

”Pak Guru, banyak kawan saya cakap (mengatakan), sekolah itu tak ada masa depannya. Saya disuruh menggantikan pekerjaan abang saya. Sekolah di Indonesia, (saya) tidak tahu. Tak payahlah (usah) kami sekolah tinggi kalau nanti kami bekerja di (kebun kelapa) sawit juga,” kata Adib, menirukan ucapan muridnya.

Ia terperangah, termenung, dan merasakan kepedihan. ”Saya dikirim ke sini (Malaysia) untuk apa? Setiap hari saya bilang kepada para murid, mereka harus punya cita-cita yang tinggi. Namun, kata-kata mereka menusuk (hati) saya. Mereka membuat saya terbungkam dan malu menjadi guru,” katanya.

Selepas dua muridnya itu berlalu, Adib masuk kamar dan mengambil gitar. Lelaki kurus berkacamata ini berusaha mencari jawaban apa yang harus dia lakukan.

”Kami, guru-guru Indonesia, di sini bukan lagi di tapal batas, tetapi berdiri paling depan di wilayah orang,” kata Adib, dan terciptalah lagu ”Menembus Dunia”.

Sementara lagu ”Guruku” ditulis Adib tepat dua bulan setelah ia dikirim ke Tawau. Lirik lagu ini merangkum pergaulan Adib dengan para guru anak-anak tenaga kerja Indonesia (TKI).

Di sini guru tak hanya mengajarkan semua mata pelajaran kurikulum Indonesia untuk siswa kelas I sampai VI, tetapi juga menjadi penjaga sekolah, pembuka kunci ruang kelas, pengurus administrasi, dan sebagai ustaz.

Selain lirik-lirik lagu yang menggambarkan suasana hatinya sebagai guru, Adib juga memasukkan pengalaman asmara dalam lagu ”Melodi Hati”. Lagu itu awalnya untuk kejutan pada hari pernikahannya Desember lalu, tetapi rencana tersebut tak terlaksana.

Satu lagu lain yang dinyanyikan Adib, ”Yakinlah”, adalah sumbangan personel Medium Band (Yogyakarta) sebagai bentuk perhatian mereka kepada anak-anak TKI dan dukungan bagi para guru.

Bekal keberanian

Perjalanan Adib ke Tawau bermula dari perekrutan pengajar bagi anak-anak TKI di Sabah oleh Kemdikbud. Lelaki lulusan Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta itu mendaftar. Bekalnya waktu itu hanya keberanian dan keinginan menghadapi tantangan.

Menyisihkan banyak pendaftar lain, Adib pun berangkat ke Sabah. Ia ditempatkan di Humana Learning Centre Merotai Kecil, sekitar 30 kilometer dari pusat kota Tawau. Ketika itu dia sama sekali tak memiliki gambaran tentang kondisi di Tawau dan bagaimana mengajar anak-anak TKI.

Saat bertemu dengan para murid, Adib kagum pada semangat mereka yang begitu kuat. Mereka bangun pagi, sekitar pukul 05.00, untuk bersiap-siap berangkat ke sekolah. Mereka ke sekolah menumpang kendaraan pengangkut kelapa sawit. Menyesuaikan jam kendaraan sawit, murid yang masuk sekolah siang pun harus datang pagi, sama seperti murid yang masuk sekolah pagi.

Namun, setumpuk semangat itu belum diimbangi dengan sikap mental mereka. Anak-anak TKI di perkebunan sawit merasa inferior dan menganggap sekolah adalah tahapan hidup sebelum akhirnya mereka melanjutkan pekerjaan orangtua mereka sebagai buruh di perkebunan sawit. Oleh karena itu, wawasan mereka harus dibuka.

”Anak-anak TKI sebisa mungkin nantinya jangan menjadi TKI juga. Itu yang harus kita tanamkan kepada mereka,” ungkapnya.

Dari orangtua

Kecintaan Adib menjadi guru tampaknya diturunkan kedua orangtuanya, H Mahfudzi dan Hj Chonisah, yang juga guru. Adib, anak ke-6 dari tujuh bersaudara ini, memiliki saudara kembar yang juga berprofesi sebagai guru. Di sisi lain, ia juga punya kecintaan yang sama pada musik.

”Lagu-lagu dalam album ini awalnya saya rekam dengan ponsel (telepon seluler), lalu saya kirim kepada teman-teman di Yogyakarta untuk diaransemen musiknya. Mereka mengirimkannya kembali. Desember 2012, selama tiga minggu saya ke Yogyakarta untuk proses rekaman,” ceritanya.

Sewaktu masih kuliah, Adib juga menjadi ”anak band”. Ia bergabung dalam grup Nasyid Justice Voice di Yogyakarta. Pasca-menjadi guru di Sabah, ia meneruskan hobinya bermusik lewat berbagai pentas di sekolah-sekolah. Ia juga tampil di kantor Konsulat RI Tawau.

Lagu-lagu Adib itu beredar dari mulut ke mulut, dari ponsel ke ponsel, sampai ke Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara. Pekan lalu, Radio Suara Tribun Indonesia (STI) di Nunukan, kabupaten yang berbatasan dengan Sabah, memutar lagu-lagu Adib untuk pertama kali.

Adib paham, apa yang selama ini dilakukannya baik sebagai guru maupun lewat lagu untuk anak-anak TKI tak bisa langsung membawa perubahan bagi masa depan mereka. Namun, dia yakin, perjuangan para guru di tanah tetangga itu, sekecil apa pun, tak akan sia-sia. ”Doakan kami, ya,” ucapnya.

Adib pun berharap ia dapat terus mengajak para murid ”berlari” menggapai cita-cita mereka agar tak mengulang sejarah hidup orangtuanya. Seperti penggalan lirik ”Menembus Dunia”, ... berlarilah, kau anak manusia. Jangan letih, tetap gigih melangkah. Bermimpilah, demi masa depanmu. Biarkan rintangan ini berlalu. Tetaplah gigih menembus dunia....
 
Sumber :
Kompas
 

Tag

IP

My-Yahoo

Blogger Widget Get This Widget

Histast

Total Pengunjung