http://infobmi.blogspot.com/. Powered by Blogger.

Saturday, October 26, 2013

Tersangka Penyalur TKI Ilegal Terancam Hukuman 15 Tahun Penjara


TRIBUNPONTIANAK.CO.ID, SAMBAS - Ting Ping Kie dikenakan pasal 4 Undang- undang RI Nomor 21 Tahun 2007 masalah perdagangan orang dengan anaman maksimal 15 tahun penjara dan Mat Jidi Nawani dikenakan pasal 10 UU yang sama dan ancaman yang sama. Sejumlah barang bukti juga diamankan polisi atas kasus keduanya, yaitu 25 paspor milik calon tenaga kerja dan tersangka, satu unit laptop, satu ponsel, uang tunai Rp 10 juta, 105 Ringgit Malaysia, 5 dolar Singapura, 6 dolar Amerika Serikat dan 5 dolar Brunei. "Sebelumnya pelaku juga memberikan pinjaman kepada calon TKI masing masing 200 Ringgit Malaysia atau Rp 650ribu," kata Kasat Reskrim Polres Sambas, AKP Jajang, Kamis (24/10/2013). Jajang mengimbau agar warga yang hendak bekerja ke Malaysia untuk berhati-hati, karena saat ini pemerintah Malaysia sedang gencarnya melakukan deportasi TKI yang masuknya tidak secara resmi. Serta jangan tergiur dengan iming-iming gaji yang besar. Sebelumnya diberitakan, Satuan Reskrim Polres Sambas mengamankan Ting Ping Kie (36), warga Kampung Sungai Bakong 96500 Bintangor, Sarawak, Malaysia Timur dan Mat Jidi Nawani (41), warga Sentebang, Jawai Selatan karena berencana membawa pencari kerja ke luar negeri tanpa izin resmi.

Selamatkan Ibu (TKI) Kita



Membaca tajuk yang
dimuat Beritasatu.com
pada Kamis, 27
September 2013
dengan judul Setop
Ekspor PRT, menarik
untuk dikaji. Pertama,
Indonesia merupakan salah satu negara
yang penduduknya “hobi” merantau. Entah
itu dalam kota, luar kota bahkan tak jarang
merantau ke luar negeri yang selanjutnya
dikenal dengan istilah tenaga kerja
Indonesia (TKI).
Kedua, keberadaan TKI selain sebagai
penyumbang devisa, kerap menjadi
masalah bahkan cenderung merendahkan
martabat bangsa Indonesia di mata
internasional. Kepala Badan Nasional
Penempatan dan Perlindungan Tenaga
Kerja Indonesia (BNP2TKI), mengatakan
setidaknya ada 6,5 juta jumlah TKI di luar
negeri. Jumlah tersebut tersebar di 142
negara, mulai dari Malaysia, Singapure,
Korea, Jepang, dan banyak negara di Timur
Tengah. Angka tersebut masih belum
termasuk TKI yang illegal, sehingga potensi
jumlah TKI di luar negeri bisa jauh lebih
besar dari data tersebut.
Sebagian besar TKI kita adalah bekerja
sebagai buruh kasar, baik sebagai buruh
bangunan, buruh perkebunan dan
pembantu rumah tangga. Hal ini terjadi
karena kualifikasi pendidikan TKI kita masih
sangat rendah. Rata-rata pendidikan
mereka hanyalah SD, SMP, dan sedikit
sekali yang sudah tamat SMA atau sekolah
sederajat. Kondisi ini tentu sangat rentan
untuk mendapatkan perlakuan tidak adil
dari majikan, di mana TKI tersebut bekerja.
Kasus Wilfrida Soik (20), TKI asal NTT yang
terancam hukuman mati di Kelantan
Malaysia, hanyalah ibarat sebuah puncak
gunung es. Masih banyak TKI di tempat lain
yang diperlakukan seperti budak oleh
majikannya. Mereka hanya diperas
tenaganya, namun tidak mendapatkan
upah yang layak. Belum lagi perlakuan
dehumanisasi lainnya yang diterima oleh
TKI kita, seperti halnya pemerkosaan,
pelecehan seksual dan tindakan asusila
lainnya. Akibatnya dengan alibi
mempertahankan diri, muncul TKI yang
membunuh majikannya, atau bunuh diri
hanya sekedar untuk melarikan diri dari
masalah yang mereka hadapi.
Buah Simalakama
Terbatasnya kesempatan kerja di dalam
negeri merupakan pemicu utama tingginya
animo masyarakat untuk bekerja di luar
negeri. Kalaupun tersedia lapangan kerja,
jumlah pendapatan yang diterima masih
belum sebanding dengan biaya hidup yang
diperlukan. Selain untuk memenuhi
kebutuhan sandang pangan dan papan,
mereka juga harus membiayai pendidikan
anak yang semakin mahal. Kondisi ini tentu
semakin memperlebar jarak antara mimpi
hidup ideal dengan kenyataan. Berangkat
dari persoalan tersebut masyarakat memilih
jalan untuk menjadi TKI untuk menggapai
mimpi mereka.
Pilihan masyarakat menjadi TKI, bagi negara
menimbulkan dampak positif dan negatif.
Dampak positifnya, keberadaan TKI ini
selain dapat menekan angka pengangguran
juga dapat meningkatkan devisa Negara.
Oleh karena itu para TKI ini sering kali
mendapat julukan "Pahlawan Devisa".
Bahkan pada 2012, TKI menyumbang
devisa kepada negara sebesar 6,9 juta US
dolar atau setara Rp 66,6 trilun.
Namun di balik dampak positif tersebut,
dampak negatifnya juga sangat besar.
Selain memperkuat stigma bangsa
Indonesia sebagai bangsa buruh di mata
internasional, banyaknya masalah hukum
yang dihadapi TKI juga menjadi beban
politik baik di dalam negeri ataupun di luar
negeri. Tak jarang pemerintah menjadi
sasaran kritik dan demo dari masyarakat
ketika terjadi masalah hukum yang
menimpa TKI kita di luar negeri. Juga
pemerintah dipaksa “kikuk’’ di hadapan
bangsa lain untuk memperjuangkan
pembebasan hukuman bagi TKI kita.
Dari pengamatan penulis yang tinggal di
daerah di mana masyarakatnya banyak
menjadi TKI, dampak negatif yang paling
besar justru pada kehidupan sosial
bermasyarakat. Jika dilihat dari komposisi
gender, 78 persen dari jumlah TKI yang ada
merupakan kaum perempuan. Di dalamnya
banyak terdapat ibu-ibu rumah tangga.
Kondisi ini merupakan titik awal terjadinya
permasalahan sosial. Banyak anak-anak
yang mestinya tumbuh dan berkembang
dalam asuhan seorang ibu, justru
tertelantarkan. Begitu juga suami yang
terpaksa harus berjauhan dengan sang istri.
Tak jarang hubungan keluarga seperti ini
berujung pada perceraian.
Akibatnya dari kondisi ini banyak anak-
anak yang merupakan harapan bangsa
tumbuh dan berkembang dilingkungan
yang tidak sehat. Banyak anak-anak yang
terjerat pada kenakalan remaja. Jika kondisi
ini terjadi secara terus menerus maka
sebenarnya kita berkontribusi untuk
menyiapkan masa depan yang suram bagi
bangsa Indonesia.
Ciptakan Lapangan Kerja
Tidak ada kata lain, setop ekspor TKI kasar
dan ciptakan lapangan kerja! Itulah yang
mutlak harus kita lakukan, tidak cukup kita
menghentikan pengiriman TKI namun tidak
menciptakan lapangan kerja. Karena sama
saja kita menciptakan kekacauan sosial
baru.
Resepnya sebenarnya sederhana,
meneguhkan komitmen semua komponen
anak bangsa untuk berkontribusi
membangun bangsa, terutama pemerintah
harus mampu menjadi katalisator
pertumbuhan ekonomi. Banyak yang bisa
dimainkan pemerintah untuk bisa menjadi
‘’invisible hand’’ dalam pertumbuhan
ekonomi Negara kita. Mulai dari
menyiapkan infra struktur, pelatihan dan
juga membangun relasi pasar dan
produsen. Kuncinya aparatur pemerintah
harus bekerja on the track dan tidak mejadi
pemburu rente di balik jabatan mereka.
Kondisi ini penulis coba lakukan selama
menjadi pendamping petani. Berbekal
program yang dimiliki oleh pemerintah,
penulis melakukan pemetaan potensi dan
masalah yang ada di masyarakat. Alhasil
penulis melihat potensi ibu-ibu rumah
tangga yang begitu luar biasa, juga potensi
pekarangan yang banyak ditelantarkan. Jika
potensi tersebut digarap serius akan
menjadi kekuatan ekonomi baru yang
menjanjikan.
Ibu-ibu yang semula menganggur
selanjutnya dibekali keterampilan usaha
tani. Dan pekarangan yang semula hanya
lahan tidur kini menjadi lebih produktif.
Alhasil pekarangan kini menjadi lahan
pepaya california, budi daya ternak unggas
dan ikan lele yang bernilai ekonomis cukup
tinggi. Tinggal Pekerjaan Rumah kita adalah
menjembatani dengan pelaku pasar,
menjaga kontinuitas produksi yang
merupakan syarat utama sebuah kegiatan
usaha.
Kasus di atas hanyalah satu dari sekian
banyak model yang masih bisa
dikembangkan. Tinggal membangun team
work dan networking yang kuat, jika
kondisi ini terwujud betapa banyaknya ibu-
ibu yang bisa kita selamatkan untuk tidak
menjadi TKI di luar negeri. Menyelamatkan
ibu-ibu merupakan pangkal dari menjaga
harga diri bangsa Indonesia.

Pendidikan imigran berbeda di tiap negara


Tujuan negara imigran ternyata berpengaruh terhadap keberhasilan anak-anak mereka dalam pendidikan.
Sebuah penelitian terbaru menunjukan bagaimana anak-anak imigran mencapai pendidikan dengan baik, ternyata tergantung pada ke negara yang mereka tuju.
Penelitian, yang dilakukan oleh Organisasi untuk Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD), berdasarkan pada skor tes membaca pada anak-anak berusia 15 tahun.
Anak-anak dari latar belakang yang sama dapat mencapai standar yang berbeda.
Peneliti mengatakan dalam sejumlah kasus ini sepadan dengan masa sekolah.
Anak-anak yang keluarganya pergi dari Rusia dapat mencapai standar pendidikan yang lebih baik jika mereka pergi ke Israel, Finlandia atau Jerman dan jika mereka ke Yunani atau Republik Czech, menurut OECD.
Dan anak-anak dari bekas negara Yugoslavia dapat menjalani tes lebih baik jika mereka pergi ke Denmark atau Swiss dibandingkan ke Luxembourg atau Austria.
Peningkatan
Para peneliti juga memantau bagaimana kemampuan membaca siswa-siswa ini mendekati rata-rata di negara-negara OECD berada- organisasi ini memiliki 34 anggota termasuk negara -negara maju.
Data menyebutkan antara tahun 2000 dan 2009, diseluruh negara OECD, proporsi anak-anak imigran berusia 15 tahun meningkat dari 8% menjadi 10%.
Dan mereka menyimpulkan bahwa anak-anak imigran dapat menyesuaikan dengan sistem sekolah dengan lebih baik jika mereka berasal dari kelompok imigran berjumlah besar.
Penelitian ini juga mengatakan di Australia, Kanada, Israel dan AS, satu dari empat atau lima anak sekolah memilki latar belakang imigran.
Para peneliti menambahkan: "Sejumlah sistem pendidikan menunjukan dapat memfasilitasi siswa yang berasal dari keluarga imigran untuk berintegrasi"
www.bbc.co.uk/indonesia/majalah/2013/10/131025_pendidikan_anakimigran

Raja Bali Sebut Nasibnya Bak Orang Hutan


DENPASAR- Raja Puri Kesiman di Denpasar, Bali, Anak Agung Ngurah Kusumawardhana, melontarkan keluhan atas ketidakpedulian pemerintah terhadap masa depan seni budaya dan kerajaan di Pulau Dewata. Bahkan, dia menyebut nasib raja seperti dirinya, bak orang hutan yang terusir dari tanah kelahirannya sendiri.
Kusumawardhana menyampaikan uneg-unegnya itu, karena memandang pemerintah kurang peduli terhadap bidang kesenian di Bali, termasuk perhatian atas peninggalan sejarah kerajaan seperti di Puri Kesiman.
Di pihak lain, yang membuatnya terharu, justru perhatian itu diberikan dari masyarakat Jepang yang secara khusus menggandeng Puri Kesiman untuk menggelar pemeran lukisan di Art Center Bali.
"Pemerintah justru tidak menghormati mereka yang telah turut berjuang melawan penjajah, saya terharu justru penghormatan datang dari Jepang," tutur Kusumawardana usai pembukaan pameran lukisan di Art Center Jalan Nusa Indah, Denpasar, Jumat (25/10/2013).
Dia menuturkan, berdirinya Taman Budaya juga tak lepas dari peran dan jasa kerajaan di Kesiman, Denpasar. Mulai tanah hingga pengurbanan kerajaan untuk menghidupkan seni budaya Bali agar tetap lestari sampai sekarang.
Karena itu, dia prihatin, sebab semua pengurbanan kerajaan seperti dari Raja Kesiman, sekarang seolah tidak berarti.
Pemerintah tidak lagi peduli terhadap nasib kerajaan, bahkan beberapa kali kegiatan besar seperti Pesta Kesenian Bali (PKB), sama sekali tidak pernah mengundang atau melibatkan mereka.
"Apa maunya sekarang pemerintah, tanah Taman Budaya ini milik puri yang harus dipertanggungjawabkan, kalau tidak bisa menghidupkan seni budaya dan tidak menganggap kami, bubarkan saja," cetusnya.
Ia merasa terharu, justru penghormatan terhadap kehidupan seni budaya datang dari Jepang. Justru, masyarakat Jepang lebih bisa menghargai peran dan jasa-jasa kerajaan di Bali.
Sebagai anak pejuang, telah banyak mengurbankan semua yang dimiliki demi keberlangsungan Bali termasuk dalam bidang kesenian. Tak heran, keturunan Raja Kesiman itu mengaku telah kehilangan tanahnya di Bali sejak tahun 1906 yang dirampas oleh penjajah. "Saya ini orang Bali yang kehilangan Bali, Nasib saya seperti orang hutan, orang Bali dianggap hama seperti orang hutan,” tukasnya serius.
Meskipun, telah kehilangan negeri sejak tahun 1906, kata dia, jiwa dan semangat mereka tetap tumbuh. Jiwa seperti matahari akan terus didorong untuk memberikan semangat kepada anak-anak generasi mendatang. "Terima kasih atas kerja sama antar budaya Bali dan Jepang, kita akan bangkitkan kekuatan baru dari timur," tutupnya.
Dalam pameran lukisan yang diprakarsai Japannation sebanyak 37 pelukis Jepang dan Bali berkolaborasi berkarya di atas kanvas menuangkan gagasan dan kreasinya dalam karya lukisan yang berlangsung 25-28 Oktober 2013. Menurut Chief Executive Officer Japannation Yoshitaka Kobayashi, pemeran bertujuan sebagai jembatan pertukaran budaya seni lukis Jepang dan Bali.
(ful)

Polres Pamekasan Patroli ke Lokasi Pengeboman


PAMEKASAN -- Jajaran Polres Pamekasan di Pulau Madura, Jawa Timur, melakukan patroli ke lokasi pelemparan bom di Dusun Konkokon, Desa Kertagena Tengah, Kecamatan Kadur, guna menjaga keamanan wilayah sekitar.
"Yang melakukan patroli langsung ke Dusun Konkokon itu Kasat Reskrim, karena kasus pelemparan bom oleh pencuri sapi tersebut menjadi perhatian polisi," kata Kasubag Humas Polres Pamekasan AKP Mariatun, Jumat (25/10).
Selain untuk mengamankan wilayah sekitar, aparat Polres Pamekasan terjun langsung ke Desa Kertega Tengah, Kecamatan Kadur, karena hingga kini situasi dan keamanan masih belum pulih, bahkan masih terkesan mencekam. Pada malam hari warga takut keluar rumah, karena khawatir kawanan penjahat masih berkeliaran melakukan pengintaian untuk mencuri lagi.
Kasus pelemparan bom di Desa Kertagena Tengah, Kecamatan Kadur, Pamekasan itu dilakukan oleh kawanan penjahat saat hendak mencuri sapi milik warga. Aksi pencurian hewan ternak itu diketahui oleh pemiliknya Armuji, yang kemudian dilempar bom hingga menyebabkan tangannya nyaris putus.
"Bom yang dilempar itu berdaya ledak rendah atau yang sering disebut petasan," kata Kasubag Humas Polres Pamekasan AKP Mariyatun.
Armuji dilempar bom hingga tangannya nyaris putus saat dia hendak menyelamatkan dua ternak sapinya yang hendak dicuri. Saat itu, Armuji sedang tidur di kamar rumahnya. Tiba-tiba mendengar suara mencurigakan dari kandang sapi miliknya. Ia lalu keluar dengan membawa lampu penerangan.
Namun, saat hendak masuk ke kandang sapi miliknya, tiba-tiba si pencuri itu melempari dirinya dengan bondet atau bom rakitan berdaya ledak rendah. Saat bom meledak pencuri langsung kabur. Namun pelaku diduga juga terkena ledakan bondet, berdasarkan ceceran darah di sepanjang jalan yang dilalui penjahat itu.
Menurut catatan polisi, kasus pencurian di Kabupaten Pamekasan marak, setelah Hari Raya Idul Adha 1434 Hijriah. Maraknya pencurian ini, tidak hanya di desa saja, akan tetapi juga di perkotaan.
Red:Dewi Mardiani
Sumber:Antara

Jumhur: Pemerintah Zalim Jika Tak Memuliakan TKI



JAKARTA- Jasa Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di luar negeri terhadap negara ini jauh lebih besar dibanding imbalannya. Bahkan, pemerintah masih nol dalam mensubsidi TKI. Uang kiriman TKI (remitansi) yang mengalir ke tanah air per tahunnya mencapai sekitar Rp120 triliun, namun sebaliknya subsidi dari pemerintah terhadap TKI masih nol.
"Sebab itu, pemerintah maupun Negara zalim jika sampai tidak memuliakan TKI," ujar Kepala BNP2TKI Moh Jumhur Hidayat di depan ratusan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (Unibraw) Malang, Jumat (25/10/2013).
Kehadirannya ke Unibraw dalam rangka memberikan Kuliah Tamu mengenai Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri.
Pernyataan Jumhur tersebut menjawab pertanyaan pemandu Kuliah Tamu, Ummu Hilmi yang juga dosen Mata Kuliah Perburuhan dan Ketenagakerjaan Fakultas Hukum Unibraw. Ummu Hilmi menanyakan mengenai peran pemerintah dalam mengadvokasi para TKI yang bekerja di luar negeri, mengingat banyak TKI bermasalah.
Menurut Jumhur, pemerintah melalui perwakilan RI di luar negeri (KBRI/KJRI) telah mengupayakan adanya pendamping hukum (advokat) untuk melakukan pendampingan hukum terhadap para TKI bermasalah di luar negeri.
"Negara dan Pemerintah wajib memberikan perlindungan hukum kepada warganya yang bernasalah hukum di luar negeri. Apalagi terhadap TKI yang banyak berjasa bagi negeri ini," jelas dia.
Dia menjelaskan, saat ini jumlah TKI yang bekerja di berbagai negara di luar negeri kurang lebih 6,5 juta. Keberadaan TKI ini secara tidak langsung telah berjasa kepada Negara dan Pemerintah didalam mengurangi angka pengangguran dan kemiskinan di dalam negeri. Dengan sekitar 6,5 juta TKI yang bekerja di luar negeri, berarti terjadi pengurangan angka pengangguran di dalam negeri sebanyak 6,5 juta.
Dikatakannya, dari 6,5 juta TKI tersebut setiap satu TKI setidaknya mampu menghidupi 4 sampai 5 orang didalam keluarganya. Ini artinya dengan adanya 6,5 juta TKI yang bekerja di luar negeri itu terdapat kurang lebih 25-30 juta warga masyarakat yang tidak sampai jatuh miskin.
"Inilah jasa terbesar dari TKI kepada Pemerintah dan Negara. Karena mengurangi jumlah pengangguran dan kemiskinan yang merupakan program Pemerintah dan Negara, dan itu telah dilakukan TKI," kata dia.
Pemerintah dan Negara kata dia, zalim jika sampai tidak memuliakan keberadaan TKI. Menurutnya, sejauh ini subsidi pemerintah dan negara kepada TKI belum ada sama sekali.
(hol)
 

Tag

IP

My-Yahoo

Blogger Widget Get This Widget

Histast

Total Pengunjung