http://infobmi.blogspot.com/. Powered by Blogger.

Tuesday, January 28, 2014

Muhaimin BersyukurHiu Bersaudara Divonis Bebas


JAKARTA, KOMPAS.com- Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar menyatakan bersyukur atas putusan pengadilan Malaysia yang memberikan vonis bebas murni kepada dua tenaga kerja Indonesia, Frans Hiu dan Dharry Frully Hiu.
"Kami bersyukur Hiu bersaudara ini bebas dari ancaman hukuman mati. Pemerintah akan terus memperjuangkan dengan berbagai upaya secara seoptimal mungkin untuk menyelamatkan semua WNI dan TKI dari ancaman hukuman mati di semua negara penempatan," kata Muhaimin melalui keterangan Humas Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi di Jakarta seperti dikutip dariAntara, Selasa (28/1/2014).
Dua bersaudara asal Siantan Tengah, Pontianak Utara, Kalimantan Barat, tersebut awalnya terancam hukuman mati setelah didakwa membunuh pencuri yang memasuki kedai arena permainan Play Station milik majikannya Hooi Teong Sim, di Selangor, Malaysia, 2009.
Sidang banding yang dilaksanakan Selasa (28/1) pukul 09.00 waktu setempat di Mahkamah Rayuan Putrajaya Malaysia menyatakan Hiu bersaudara bebas murni dari hukuman mati. Putusan itu diketahui berdasarkan laporan Atase Tenaga Kerja (Atnaker) KBRI di Kuala Lumpur, Malaysia.
Menindaklanjuti keputusan sidang tersebut, Muhaimin mengatakan, dalam waktu dekat KBRI akan membuat Surat Perjalanan Laksana Paspor (SPLP) untuk memulangkan kedua bersaudara tersebut dengan biaya pemerintah.
"Diharapkan pada saat hari raya Imlek Hiu bersaudara bisa merayakan bersama keluarganya di Kalbar," ujar Muhaimin.
Muhaimin mengatakan, vonis bebasnya Hiu bersaudara itu merupakan hasil kerja sama dan koordinasi yang baik antara banyak pihak termasuk KBRI Malaysia yang menyediakan pengacara untuk Hiu bersaudara dari Gooi & Azura.
Muhaimin menambahkan, pemerintah Indonesia telah melakukan pembelaan dan pendampingan hukum kepada dua TKI tersebut melalui penyediaan pengacara khusus sampai tingkat banding dan kasasi untuk membebaskan keduanya.
"Pemerintah secara maksimal berusaha memberikan pendampingan dan pembelaan hukum kepada semua TKI yang terlibat masalah hukum di negara-negara penempatan. Terutama TKI yang terancam hukuman mati," tutur Muhaimin.
Untuk kasus Hiu bersaudara, Muhaimin mengklaim pemerintah telah mengambil langkah-langkah pendampingan dan perlindungan secara maksimal.
Frans Hiu dan Dharry Frully Hiu bekerja di sebuah kedai arena permainan Play Station milik Hooi Teong Sim, di Selangor, Malaysia sejak 2009 dengan visa pelancong untuk bekerja.
Pada 3 Desember 2010, Frans memergoki seorang pencuri melakukan aksinya di mes perusahaan tempatnya bekerja di Jalan 4 Nomor 34, Taman Sri Sungai Pelek, Sepang, Selangor, Malaysia.
Pencuri tersebut, warga negara Malaysia bernama Kharti Raja akhirnya ditangkap oleh Frans, namun kemudian pencuri itu pingsan dan meninggal dunia di lokasi.
Pemeriksaan lebih lanjut oleh pihak kepolisian Malaysia mendapati pencuri tersebut memiliki narkoba di saku celananya dan visum dokter juga menyebutkan bahwa Kharti Raja meninggal akibat "over dosis" narkoba.
Pengadilan Majelis Rendah Selangor menyidangkan Frans, Dharry serta seorang rekan kerja mereka berkewarganegaraan Malaysia sekitar bulan Juni-Juli tahun 2012 dengan putusan ketiganya dinyatakan tidak bersalah dan diputuskan bebas dari semua tuntutan.
Namun, persidangan selanjutnya menghasilkan vonis yang berbeda hingga akhirnya vonis sidang banding kembali membebaskan kedua bersaudara tersebut.
Editor: Sandro Gatra
Sumber:
nasional.kompas.com/read/2014/01/28/1749038/Muhaimin.Bersyukur.Hiu.Bersaudara.Divonis.Bebas

Polisi Dubai Lambat Menangani Kasus Kekerasan TKI


Farida Aini (kanan), setelah mengikuti kegiatan pertemuan sesama pekerja Indonesia di Dubai

Ketika bekerja pada majikan pertama, saya pernah bersengketa hukum karena istri majikan melakukan kekerasan dengan memukul tangan saya hingga lebam. Saya tak paham dengan motif istri majikan yang memicu ia berbuat demikian. Bagaimanapun dan di negara manapun tindakan kekerasan tidak diperbolehkan. Selang dua hari usai pemukulan, saya memutuskan untuk melapor kepada otoritas polisi Dubai.
Pelaporan tersebut lantaran majikan tidak menepati janji, bahwa saya akan dipekerjakan di kantor bukan di rumah. Majikan juga mengungkapkan jika saya ingin pulang ke Indonesia, biaya kepulangan harus ditanggung diri saya sendiri. Tentu hal tersebut tak sesuai kontrak kerja. Di dalam kontrak kerja dijelaskan bahwa jika pemutusan hubungan kerja dilakukan pihak pertama, maka majikan harus menanggung tiket kepulangan dan gaji penuh pada bulan itu.
Di kantor polisi saya dipertemukan dengan superintendent, beliau bersedia menerima laporan tetapi untuk membuat laporan saya diharuskan untuk pergi visum di Dubai Hospital. Dua jam menunggu, petugas rumah sakit memberi tahu bahwa saya harus visum di Albaraha Hospital yang letaknya berhadapan karena hanya ada satu polisi di dua rumah sakit tersebut. Di Albahara Hospital saya melakukan visum tanpa dipungut biaya dan selang satu jam kemudian hasil visum keluar.
Saya kembali ke kantor polisi Muraqqabat, namun sayangnya petugas telah ganti dan saya harus kembali esok harinya. Petugas sempat mengecek paspor saya dan ternyata ada laporan dari majikan jika saya melarikan diri atau tamim. Polisi sebenarnya akan menahan buruh migran yang dilaporkan melarikan diri. Tetapi dalam kasus ini berbeda, saya melapor terlebih dahulu sebelum majikan melapor. Jadi saya bebas meninggalkan kantor polisi tanpa ditahan.
Esoknya saya kembali ke kantor polisi dan petugas polisi yang sedang berjaga menyuruh saya untuk kembali ke rumah sakit Albaraha guna menerjemahkan hasil visum dalam bahasa Arab. Ketika saya kembali ke kantor polisi sore hari, petugas sempat kaget melihat kedatangan saya lagi. Dengan agak marah polisi bertanya apa yang saya mau, apakah dipulangkan ke Indonesia, atau mendaftarkan kasus saya. Polisi kemudian berinisiatif untuk memanggil majikan memberitahukan bahwa saya berada di kantor polisi dan hendak melaporkan istri majikan.
Majikan tentu saja menghindar dan mengaku sedang pergi ke luar kota. Namun polisi tetap menyuruh majikan untuk datang paling lambat dalam kurun waktu satu jam. Maka satu jam kemudian majikan datang bersama istri dan dua anaknya, mereka memutar balikkan fakta dan kejadian sebenarnya di depan polisi.
Polisi Dubai sempat memihak mereka dan menawarkan pada saya, jika ingin pulang tiket pesawat akan dibayar tetapi gaji hanya dibayar setengahnya. Tetapi saya menolaknya. Saya lantas menunjukkan kontrak kerja dan menyebutkan bahwa kewajiban majikan adalah membayar gaji penuh dan tiket pesawat. Polisi sempat tak mau melihat kontrak kerja dan malah menanyakan kesiapan saya menerima majikan baru.
Setengah jam kemudian polisi bertanya apakah saya tetap ingin mendaftarkan kasus istri majikan. Saya tetap bersikukuh untuk mendaftarkan. Polisi menghubungi majikan dan mengatakan membutuhkan kehadiran istri dan paspornya untuk melengkapi laporan. Majikan dan istrinya datang dengan wajah marah, polisi menahan paspornya, dengan demikian ia tak bisa meninggalkan Uni Emirat Arab. Laporan baru selesai dibuat polisi pada pukul 02.30 dini hari dan polisi memberikan sepucuk surat untuk kemudian saya bawa ke markas Criminal Investigation Department (CID) Dubai membuat visum yang dikeluarkan CID. Butuh dua hari yang melelahkan untuk meyakinkan kepolisian Dubai bahwa saya mendapat kekerasan dari majikan!
Sumber
buruhmigran.or.id/2014/01/28/polisi-dubai-lambat-menangani-kasus-kekerasan-tki/

Penyiksaan TKI Kokom di Saudi Sulit Diproses



Konsul Jenderal Indonesia di Jeddah mengatakan sulit untuk memproses hukum majikan yang diduga menyiksa tenaga kerja Indonesia, Kokom Binti Bama, di Arab Saudi karena kurangnya data dan tidak adanya dokumen resmi.
“Kita sulit memproses hukum, karena dia tidak tahu majikannya di mana, karena Kokom ini kerjanya pindah-pindah dan kerja bebas. Statusnya memang ilegal setelah kabur dari majikan pertama,” kata Konsul Pelayanan Warga di KJRI Jeddah, Sunarko, ketika dihubungi Wartawan BBC Indonesia, Christine Franciska.
Seperti diketahui, Kokom Binti Bama, 35, ditemukan sekitar tiga bulan lalu dan dibawa ke KJRI Jeddah setelah mengalami penyiksaan saat bekerja.
Dia sempat lari dari majikan pertama karena gajinya tak dibayar selama lebih dari satu tahun. Setelah bekerja di tempat lain secara ilegal, dia mengalami penyiksaan dengan sejumlah memar di wajah dan sekujur tubuh.
Kondisi Kokom ketika ditemukan cukup parah. “Kaki kanan kurang berfungsi dengan baik, penglihatannya agak kabur, dan kupingnya juga digunting,” kata sejumlah aktivis Buruh Migran Indonesia Saudi Arabia.
“Perlu dipertanyakan”
Menurut Sunarko, keadaan Kokom yang kini tinggal di tempat penampungan KJRI sudah membaik.
Pihaknya kini sedang memperjuangkan hak-hak berupa gaji pada majikan yang pertama.
“Yang bisa kita upayakan kita menuntut gaji majikan pertama, karena status kerjanya resmi selama satu tahun. Ini sedang kita urus hak-haknya. Tetapi majikan pertama ini tidak melakukan penyiksaan, Kokom kabur saja karena tidak dibayar,” kata Sunarko.
Namun Aktivis Buruh Migran Indonesia Saudi Arabia, Abdul Hadi, mengatakan penanganan kasus penyiksaan TKI di Arab Saudi oleh pemerintah RI kurang bertanggung jawab dan kurang manusiawi.
“Kasus Klik seperti [Erwiana] di Hong Kong, sebetulnya di sini lebih banyak, tetapi penanganannya perlu dipertanyakan,” katanya
Sumber
http://m.poskotanews.com/2014/01/28/penyiksaan-tki-kokom-di-saudi-sulit-diproses/?utm_source=twitterfeed&utm_medium=twitter

Rieke PDIP Desak SBY Tegas Tangani Penganiayaan TKI


Rieke Diah Pitaloka (Liputan 6.com/Andrian M. Tunay)

Liputan6.com, Jakarta: Kasus yang menimpa salah satu Tenaga Kerja Wanita (TKW) asal Indonesia, Erwiana, terbukti tidak dapat selesai begitu saja dengan telepon Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) kepada korban dan keluarganya, ataupun mengunggah foto ke media sosial.
Terkait kasus ini, Anggota komisi XI, Rieke Diah Pitaloka, mendesak Presiden SBY untuk melakukan langkah konkret dalam menuntaskan kasus kekerasan yang dialami TKW Indonesia.
"Kali ini, lakukan apa yang seharusnya dilakukan oleh kepala pemerintah. Instruksikan tegas kepada pembantu-pembantu bapak. Bersikaplah sebagai panglima penyelamat rakyat, sekaligus menjaga harga diri bangsa," cetus politisi PDIP itu di Jakarta, Selasa (28/1/2014).
Kasus kekerasan terhadap TKW yang terjadi, bukan saja hanya menimpa Erwiana. Seorang TKW di Taiwan, Sihatul Alfiah (27 tahun) baru-baru ini mendapat perlakuan keji dari majikannya, Hung Den Jin. Selain mempekerjakan korban di luar kontrak kerja yang telah disepakati dan ditandatangani, yaitu merawat orangtua, Sihatul justru dipekerjakan sebagai pemerah dan pembersih kandang sapi di Liouying, distrik Taiwan.
Jam kerjanya pun di luar konteks manusiawi. Dari pukul 03.30 hingga 10.00 pagi ia sudah bekerja dan mulai bekerja lagi pada pukul 15.00 - 22.00 malam. Selain itu, ia pun harus tidur di dekat kandang sapi.
Karena tidak tahan dengan perlakuan majikannya, ia memberanikan diri untuk mengadu ke PT Sinergi Binakarya, Malang, yaitu jalur legal yang menyalurkan dirinya bekerja di Taiwan. Pihak agen akhirnya mendatangi rumah Den Ji. Namun, Sihatul bukannya terbantu, ia malah mendapatkan siksaan yang semakin parah.
21 September 2013, Sihatul dipukul dengan benda tumpul di bagian belakang. Ia langsung tak sadarkan diri dan mengalami koma selama 1 bulan di rumah sakit. Sekarang, Sihatul telah bangun dari koma dengan ditopang peralatan medis. Ironisnya Sihatul bukannya dibawa ke rumah sakit, melainkan panti jompo. (Tya/Mut)
Sumber
Rieke PDIP Desak SBY Tegas Tangani Penganiayaan TKI

Kasus TKI Erwiana, Pemerintah Dinilai Tidak Tegas



KBRN, Jakarta : Proses hukum atas kasus Erwiana Sulistyaningsih, Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang menjadi korban kekerasan majikannya di Hongkong, masih bergulir. Majikan Erwiana yang bernama Law Wan akan menjalani sidang dan menjadi tahanan kota.
“Majikan tidak ditahan melainkan hanya tahanan kota karena membayar uang jaminan senilai Rp 1,5 milyar,” kata Direktur Eksekutif Migrant Care, Anis Hidayah, dalam perbincangan dengan Pro 3 RRI, Selasa (28/1/2014).
Kendati proses hukum masih berjalan, namun Anis Hidayah menangkap kesan pemerintah tidak bertindak tegas dalam menangani kasus Erwiana. Anis mencontohkan, selain majikannya sudah dijerat hukum, Hongkong juga telah mencoret agen tenaga kerja yang mendatangkan Erwiana. Namun, oleh Pemerintah Indonesia, perusahaan pengirim tenaga kerja tersebut tidak ditindak tegas.
“Tetapi perusahaan yang mengirim dari Indonesia tidak diapa-apakan. Bagaimana menginvestigasi, mulai keberangatannya,trainingdan dokumen. Bagi Pemerintah Indonesia, Erwiana pulang dan hukum di Hongkong bekerja, berarti sudah selesai. Persis, pemerintah tidak melakukan apa-apa,” kata Anis Hidayah.
Padahal, dalam kasus Erwiana ada dua hal yang harus diperhatikan, yaitu proses hukum dan pemenuhan hak-hak sebagai TKI yang dilindungi negara, seperti asuransi, gaji, perawatan medis dan pemulihan psikologis.
Seperti dikutip dari Kantor Berita Antara, Erwiana Sulistyaningsih adalah warga Desa Pucangan, Kecamatan Ngrambe, Kabupaten Ngawi, Jawa Timur. Dia bekerja sebagai penata laksana rumah tangga (PLRT) di Apartemen J 38F Blok 5, Beverly Garden 1, Tong Ming Street, Tesung, O Kowloon, Hong Kong.
Erwiana menjadi TKI atas agen jasa tenaga kerja PT Graha Ayu Karsa, Tangerang, Banten, pada 15 Mei 2013. Erwiana kembali ke Tanah Air pada Kamis (9/1/2014) dalam kondisi sakit. Setelah tiba di rumahnya, dia dibawa ke rumah sakit untuk mendapat perawatan intensif.
Anis yang sempat membesuk Erwiana, menceritakan kondisi Erwiana yang memprihatinkan.
“Erwiana masih pusing-pusing intensif akibat pukulan bertubi-tubi. Ada masalah di otak. Dia sedang belajar berjalan. Yang paling serius adalah masalah gizi buruk yang luar biasa. Bekerja selama tujuh bulan, makan tidak layak. Hanya sepotong roti. Berangkat berat badan Erwiana 50 Kg, pas pulang turun 25 Kg,” ungkapnya. (Sgd/HF)
Sumber
KBRN, Jakarta

Mau Menjadi TKI di Hongkong, Harus Bayar Rp 35 Juta


KBRN, Jakarta : Hongkong disebut-sebut sebagai negara tujuan pengiriman tenaga kerja yang paling menarik, selain karena gaji menggiurkan juga kebebasan yang diterima oleh tenaga kerja asing. Berita-berita miring tentang kekerasan terhadap tenaga kerja di Hongkong jarang terdengar. Namun, anggapan itu terpatahkan dengan kasus kekerasan yang menimpa Erwiana Sulistyaningsih.
Direktur Eksekutif Migrant Care, Anis Hidayah menampik, jika menyebut Hongkong sebagai surganya untuk TKI. Namun diakui, Hongkong berbeda dengan negara lain tujuan pengiriman TKI, misal secara hukum Hongkong mengakui hak buruh seperti libur dan kebebasan berorganisasi. Tidak heran jika TKI khususnya, tenaga kerja wanita (TKW), memiliki organisasi diluar pekerjaan sehari-hari.
“Namun bukan berarti tidak ada masalah,” kata Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah, Selasa (28/1/2014).
Hongkong juga tercatat sebagai negara tujuan pengiriman TKI dengancostyang paling besar. Bayangkan untuk biaya penempatan, satu orang calon TKI dikenakan biaya Rp 35 juta. Biasanya dipotong gaji selama tujuh bulan.
Ia menambahkan, waktu tujuh bulan setelah penempatan merupakan masa yang paling rawan.
“Masa tujuh bulan adalah paling rentan. Dia harus tetap bekerja dalam kondisi apapun. Kalau tidak bisa bekerja maka dia harus membayar,” imbuhnya.
Migrant Care mendorong DPR menuntaskan revisi UU TKI dengan mengadopsi prinsip-prinsip perlindungan yang ada dalam konvensi PBB tentang hak-hak buruh, Konvensi Cedaw, Konvensi ILO 189 tentang PRT, dan 8 konvensi pokok ILO.
Saat kasus Erwiana mencuat pada Januari tahun ini, secara bersamaan kasus TKW Sehatul Alfiyah asal Banyuwangi di Taiwan. mencuat. Sehatul adalah korban dari majikannya.
“Revisi UU sudah dibahas tiga tahun lalu. Indonesia harus memperbaiki kesepakatan negara bilateral negara tujuan,” tegasnya.(Sgd/HF)
Sumber
KBRN JAKARTA

Tahun 2013, 11 TKI Asal Sampang Tewas di Malaysia


KBRN Sampang : Dinsosnakertrans Sampang mencatat selama tahun 2013 ada 11 TKI asal Sampang yang meninggal dunia di Malaysia.
Kasi Penempatan dan Perluasan Tenaga Kerja, Teguh Waluyo, menerangkan, sebelas TKI yang meninggal dunia tersebut rata-rata karena kecelakaan kerja, yang berasal dari wilayah utara seperti Kecamatan Tambelangan, Sokobenah serta Karang Penang dan berstatus ilegal.
"Ada yang terjatuh dari bangunan, ada yang karena kecelakaan lalu lintas, dan kami katakan mereka melalui jalur ilegal karena hanya menggunakan visa visa kunjungan," ucapnya, Selasa (28/01/2014).
Menurut Teguh, meskipun berstatus ilegal, ahli waris dari TKI yang meninggal dunia itu akan tetap menerima bantuan dana dari Malaysia, dimana saat ini sudah ada 4 ahli waris yang sudah diurus sedang lainnya masih dalam proses. (Iswantoro/DS)
Sumber
Tahun 2013, 11 TKI Asal Sampang Tewas di Malaysia

Malaysia Hukum Seumur Hidup 3 TKI Terkait Penculikan

Kuala Lumpur, (tvOne)
Tiga pekerja warga negara Indonesia dijatuhi hukuman seumur hidup dan 15 kali cambuk oleh Pengadilan Tinggi Melaka, Malaysia, setelah dinyatakan bersalah menculik seorang kontraktor untuk mendapatkan uang tebusan 300 ribu ringgit (Rp1 miliar) empat tahun lalu. Pejabat Kehakiman Datuk Abdul Karim Abdul Jalil menjatuhkan hukuman terhadap tiga terdakwa, yaitu Purwanto (31), Sahri Tahe (31), dan Didik Setiawan (29), seperti dikutip media lokal di Kuala Lumpur, Selasa.
Ketiga terdakwa menculik Gun Song Huat (48) dengan niat meminta uang tebusan pada April 2010, di kawasan Kiara Apartment, Taman Mutiara, Melaka Baru, Batu Berendam, Melaka. Mereka kemudian menghubungi istri korban untuk meminta uang tebusan. Terdakwa dijerat dengan Seksyen 3 (1) Akta Culik 1961 dengan ancaman hukuman mati atau penjara seumur hidup.
Abdul Karim mengatakan, majelis hakim setuju dengan pihak jaksa bahwa kasus tersebut adalah kasus serius karena melibatkan warga asing yang bekerja di Malaysia, tetapi melakukan tindak kriminal. "Saya juga ada fakta bahwa korban menginginkan hukuman maksimal kepada ketiga terdakwa, walaupun korban tidak mengalami kecederaan parah namun ia mengalami trauma," katanya lagi.
Sebelumnya, kuasa hukum para terdakwa Nurrul Nadia Norrizan mengatakan, kliennya sudah mengaku salah dan insaf atas perbuatan mereka. "Memang diakui korban telah dipukul dan diikat, namun korban tidak mengalami cedera parah atau mati," katanya.
Selain itu, lanjut dia, terdakwa juga hanya memperoleh 40 ribu ringgit uang tebusan yang diberikan keluarga korban.
PRT Dipenjara
Sementara itu, dalam kasus terpisah di Kota Bharu, Kelantan, seorang pembantu rumah tangga asal Garut, Jawa Barat, dijatuhi hukuman penjara 18 bulan karena mengguncang badan dan kepala anak majikannya yang berusia setahun empat bulan pada 23 Januari 2013.
Hakim Yusuff Yunus menjatuhkan hukuman tersebut, setelah tertuduh Enong Nur Sukma (41) mengaku bersalah atas tuduhan tersebut. Ia dijerat dengan Seksyen 31(1)(a) Akta Kanak-Kanak 2001 dengan ancaman hukuman denda 20 ribu ringgit atau penjara tidak lebih dari 10 tahun atau kedua-duanya.
Saat kejadian, majikan Enong keluar rumah pada pukul 10 malam dan meninggalkan dua anak, yaitu korban dan seorang anak lelaki berusia tiga tahun bersama terdakwa.
Sebelum keluar, majikannya meninggalkan kamera digital yang sedang direkam di kamar terdakwa dan disembunyikan dalam kotak di atas meja rias. Saat pulang setengah jam kemudian, majikannya mengambil kamera tersebut dan melihat rekaman terdakwa mengguncang badan dan kepala anaknya.
Sumber Malaysia Hukum Seumur Hidup 3 TKI Terkait Penculikan

Migrant Institute Desak Pemerintah Investigasi Kasus Sihatul Alfiyah



Migrant Institute Menyalurkan Dana Sumbangan Buruh Migran ke Erwiana, TKI yang Menjadi Korban Penganiayaan Oleh Majikannya di Hongkong (f.mi)

JAKARTA,
www.kepribangkit.com – Lagi-
lagi kasus kekerasan terhadap
buruh migran Indonesia
terulang. Setidaknya dalam
pekan ini ada 3 berita terkait
penyiksaan buruh migran yang
ramai di bincang. Pertama kasus
penyiksaan buruh migran asal
Ngawi di Hongkong. Kedua
penyiksaan buruh migran asal
Sukabumi di Jeddah, dan
terakhir buruh migran asal
Banyuwangi yang mengalami
koma selama 4 bulan akibat
disiksa majikan di Taiwan.
Erwiana, buruh migran asal
Ngawi mengalami penyiksaan
oleh majikan di Hongkong.
Erwiana sempat melaporkan
kejadian ini pada agensi di
Hongkong, namun jawaban
yang memintanya kembali ke
majikan membuat dirinya nekat
pulang ke Indonesia dengan
kondisi yang memprihatinkan.
Nuraeni, buruh migran asal
Sukabumi menyampaiakan
kepada keluarganya bahwa
selama berkerja, majikannya
kerap memukul dengan benda
keras bahkan hampir sekujur
tubuhnya terdapat luka seperti
pada bagian kaki, tangan, wajah
dan kepalanya. Bahkan
ironisnya, selain disiksa korban
juga tidak dibayar gajinya
selama tiga tahun. Dan terakhir,
keluarga dari Sihatul Alfiyah
yang melaporkan bahwa Sihatul
mengalami penyiksaan dari
majikan dengan bekerja tidak
sesuai kontrak yang
mengakibatkan koma selama 4
bulan.
Lagi-lagi, pemerintah selalu
terlambat bertindak bahkan
terkesan tidak memberi
perlindungan pada BMI (Buruh
Migran Indonesia). Hal ini
seperti yang diungkapkan Adi
Candra Utama, Direktur
Eksekutif Migrant Institute
bahwa pemerintah baru
merespon pengaduan BMI
setelah kasusnya marak di
media. “Jika kasus-kasus BMI ini
tidak terungkap di media, maka
kasusnya akan jalan di tempat
bahkan hilang seperti asap,”
ujar Adi Chandra Utama, Senin
27 Januari 2014.
Lebih lanjut, Adi mencontohkan
kasus yang terjadi pada Sihatul
Alfiyah. “Kasus Sihatul itu
terjadi sejak September 2013
lalu, tapi pemerintah baru
bertindak sekarang ketika
media marak menyoroti kasus-
kasus kekerasan BMI,”
tambahnya.
Malah Adi menyayangkan,
meski sudah terungkap di
media terkadang pemerintah
juga selalu salah bersikap dan
berstatemen, seperti yang
terjadi pada ChristofelDe Haan,
Direktur Pelayanan Pengaduan
TKI – BNP2TKI yang member
pernyataan tak berpihak pada
BMI.
Hal serupa juga terjadi pada
kasus Sihatuul, dimana Direktur
Perlindungan Warga Negara
Indonesia (WNI) dan Badan
Hukum Indonesia (BHI) dari
Kementerian Luar Negeri RI,
Bapak Tatang Razak
menyatakan kejadian yang
menimpa Sihatul bukanlah
akibat penyiksaan oleh majikan,
namun Sihatul mengalami gagal
jantung sebelum dilarikan ke
Rumah Sakit. Pernyataan
Tatang ini menurut Adi sangat
premature. “Kenapa Kemlu
tidak investigasi terlebih dahulu
berdasarkan pihak BMI?”
tandasnya.
Padahal merujuk pada UU No
39/2004 tentang penempatan
dan perlindungan tenaga kerja
Indonesia di luar negeri, “Tugas
monitoring dan perlindungan
buruh migrant di luar negeri
menjadi tanggungjawab
Kementrian Luar Negeri melalui
KJRI/KBRI,”.
Pasal 78 (1) menyebutkan
bahwa “Perwakilan Republik
Indonesia memberikan
perlindungan terhadap TKI di
luar negeri sesuai dengan
peraturan perundang-
undangan serta hukum dan
kebiasaan internasional”.
Klausul monitoring terhadap
buruh migrant juga dijabarkan
dalam pasal selanjutnya yakni
“Dalam rangka pemberian
perlindungan selama masa
penempatan TKI di luar negeri,
Perwakilan Republik Indonesia
melakukan pembinaan dan
pengawasan terhadap
perwakilan pelaksana
penempatan TKI swasta dan TKI
yang ditempatkan di luar
negeri”
Penyiksaan yang menimpa
Erwiana, Nuraini dan terakhir
Sihatul adalah cermin betapa
political will dari pemerintah
dalam memberikan
perlindungan buruh migran
sangatlah minim. Kementrian
Luar Negeri yang menjadi lini
terdepan dalam perlindungan
di negara penempatan belum
menjalankan tanggugjawabnya
dengan maksimal.
Sebagai garda terdepan
perlindungan buruh migran,
seyogyanya Kementrian Luar
Negeri menjadi pihak paling
awal yang mengetahui,
merespon dan menginisiasi
bantuan hukum dan sosial bagi
buruh migran di negara-negara
penempatan tanpa harus
didesak oleh keluarga ataupun
masyarakat. Namun tengoklah
pada kasus Erwiana dan Sihatul,
Kemenlu justru merespon
secara resmi setelah media
ramai melansir kasus-kasus
tersebut.
Pada kasus Sihatul Kemenlu
memfasilitasi negosiasi antara
keluarga dan majikan dengan
hasil sang majikan bersedia
mengganti biaya
pengobatan.Tentu kita
mengapresiasi langkah negosiasi
ini, meski demikian bukan
berarti bahwa penegakan
hukum boleh diabaikan.
Dengan menyatakan tidak
adanya penyiksaan maka
Kemenlu telah
mengesampingkan pengalaman
buruh migrant. Hal ini tentu
melukai rasa keadilan korban.
Karenanya investigasi yang
dilakukan oleh Kemenlu patut
untuk dipertanyakan. Tutur
buruh migrant seharusnya
dapat menjadi entry point bagi
pengungkapan kasus kekerasan
dan perbaiakan sistem
perlindungan, pembinaan dan
pengawasan buruh migrant dan
agensi di negara-negara
penempatan.
Merespon hal ini Migrant
Institut mendesak pemerintah
melalui Kementrian Luar negeri
untuk segera melakukan
investigasi objektif berdasarkan
pihak BMI dan keluarga
korban. Selain itu, Migrant
Institute juga menghimbau
pemerintah untuk segera
membenahi sistem
perlindungan bagi buruh
migrant di negara-negara
penempatan. Diantaranya
dengan pertama,
memaksimalkan peran
pengawasan yang efektif baik
untuk buruh migran maupun
agensi di negara-negara
penempatan.
Kedua, membangun pusat
pengaduan dan perlindungan
bagi buruh migran yang mudah
diakses di negara-negara
penempatan. Ketiga,
memperkuat sistem pendataan
buruh migran yang akurat.
Keempat, mendorong
pemerintah untuk
menyelesaiakan persoalan-
persoalan tersebut melalui jalur
hukum. Kelima, responsive dan
memiliki keberpihakan pada
pengentasan kasus buruh
migrant di luar negeri.
Sumber
Migrant Institute Desak Pemerintah Investigasi Kasus Sihatul Alfiyah

Migrant Care Sesalkan Respons BNP2TKI soal TKI Sihatul



Ratusan Tenaga Kerja Indonesia yang overstay tiba di bandara Soekarno - Hatta, Tangerang, Banten, Sabtu (16/11).

Jakarta - Migrant Care menyatakan penyesalannya atas upaya Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) yang memilih cara damai dan menghindari jalur hukum dalam menuntaskan kasus tenaga kerja Indonesia (TKI) yang disiksa di Taiwan, Sihatul Alfiah. "BNP2TKI diam-diam melakukan mediasi antara keluarga korban dengan Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS) yang menghasilkan kesepakatan. Isi kesepakatan, tidak boleh ada masyarakat sipil yang terlibat dalam penanganan kasus ini," kata Direktur Eksekutif BNP2TKI, Anis Hidayah, di Jakarta, Senin (27/1). Migrant Care juga mendapat laporan bahwa perwakilan BNP2TKI di Taiwan berusaha melakukan mediasi pada majikan korban dengan cara meminta mereka membayar biaya rumah sakit korban. Di sisi lain, tidak terlihat upaya BNP2TKI mengusut kasus itu melalui jalur hukum di negara setempat. Padahal, lanjut Anis, kakak Sihatul yang ada di Taiwan sudah melaporkan kasus itu ke Kepolisian. "Karena itu, kami mendesak agar semua pihak mendorong kasus ini diusut sampai tuntas," tegas Anis. Dia mengatakan, Migran Care mendesak BNP2TKI menginvestigasi pejabatnya yang menempuh jalur damai itu saat merespons pengaduan kasus Sihatul. Sihatul (27 tahun), adalah TKI asal desa Plampangrejo Banyuwangi, yang mendapat siksaan dari majikannya di Taiwan. Terakhir, Sihatul berangkat ke Taiwan pada 2012 secara legal melalui PT Sinergi Binakarya, di Malang, dengan kontrak kerja merawat orang tua. Setelah sampai di Taiwan, Sihatul justru tak hanya bekerja merawat orang jompo, dia juga dipekerjakan sebagai pemerah dan pembersih kandang sapi di Liouying, distrik Tainan City. Ia harus memerah dan membersihkan kandang 300 sapi setiap hari. Jam kerjanya tak manusiawi, mulai jam 3.00-10.00. Lalu bekerja lagi pukul 15.00 hingga 22.00. Ia pun tidur di dekat kandang sapi. Di luar itu, Sihatul sering disiksa majikannya yang bernama Huang Deng Jin. Sihatul sempat melapor ke perusahaan yang mengirimkannya, dan direspons dengan mendatangi majikan. Namun Sihatul tetap tak bisa pindah kerja dan malah makin disiksa majikannya. Pada 21 September 2013, Sihatul dipukul benda tumpul oleh majikannya sehingga tak sadarkan diri. Dia lalu dibawa ke UGD RS Chimney Iyen Tainan di Liouying. Hasil pemeriksaan menyatakan, ada luka di bagian belakang kepala. Sihatul pun koma selama sebulan di RS itu. Kini, Sihatul dikabarkan sudah sadarkan diri, namun hidupnya ditopang peralatan medis. Sihatul tak bisa bicara dan bergerak. Berdasarkan laporan dari TKI yang ada di Taiwan, Siharul tak lagi di RS, namun dibantarkan di sebuah panti jompo. Penulis: Markus Junianto Sihaloho/WBP
Sumber
beritasatu.com

Buruh migran Hongkong tuntut agen Erwiana ditutup


Asisten rumah tangga dan simpatisan membawa foto tenaga kerja Indonesia Erwiana Sulistyaningsih saat menggelar aksi untuk menuntut penyelidikan atas penganiayaan yang terjadi pada Erwiana, di Hong Kong, Minggu (19/1). Ribuan orang menggelar aksi di Hong Kong untuk menuntut keadilan atas Erwiana, yang dipukuli hingga luka parah oleh majikannya dalam kasus yang telah menyulut kemarahan besar-besaran dan investigasi polisi atas tuduhan penganiayaan tersebut. (REUTERS/Tyrone Siu )

Bandarlampung (ANTARA News) - Sekitar 4.000 buruh migran Indonesia (BMI) berdemonstrasi menuntut ditutup dan dihukumnya Chan Asia Recruitment, agen yang membawa Erwiana ke Hongkong.
"Kami meminta segera cabut izin Chan Asia Recruitment Centre sebagai bentuk keadilan bagi Erwiana. Jangan sampai ada korban keserakahan dan ketidakbertanggungjawaban agen itu lagi," kata Sringatin, juru bicara Komite Keadilan bagi Erwiana dan semua pekerja migran di Hongkong melalui pernyataan tertulis yang diterima di Bandarlampung, Senin.
Demonstrasi berlangsung pada Minggu (26/1) tersebut, demikian Sringatin, menuntut pemberantasan dan penutupan agen-agen yang melanggar dan membuat buruh migran rentan menjadi korban penganiayaan.
Dalam aksi tersebut, massa juga menuntut Konsulat Indonesia di Hongkong untuk menindak agen-agen pelanggar.
Demonstrasi yang dipimpin Jaringan Buruh Migran Indonesia (JBMI) dan Komite Keadilan Untuk Erwiana dan Seluruh PRT Migran sebelum menuju Agen Chan Asia Recruitment, berkumpul di lapangan Victoria Park untuk menggelar doa bersama.
Massa aksi yang menggelar demo di depan kantor Chan Asia Agency mengecam tindakan agen yang membawa Erwiana kembali kepada majikannya yang jahat.
"Menurut Erwiana, sejak dia berusaha lari, majikan semakin kejam menyiksanya. Kisah Erwiana dengan agennya adalah pengalaman ribuan buruh migran Indonesia. Kami dibutakan dan dijauhkan dari informasi tentang negara tujuan, ditarik biaya selangit, dipaksa berutang, dan dipaksa bertahan layaknya budak," kata Sringatin lagi.
Dia menambahkan, praktik perbudakan justru dilegalisasikan oleh Pemerintah Indonesia dengan memberi kuasa penuh kepada perusahaan pengerah jasa TKI (PJTKI) dan agen untuk memeras buruh migran atas nama perlindungan.
"Pemerintah seperti melegalisasikan perampasan upah dan menempatkan buruh migran sebagai objek. Karena itu, hanya pemerintah yang bisa mengubah kondisi ini," ujar dia pula.
Di depan Konsulat Indonesia, massa aksi menuntut agar kontrak mandiri diberlakukan, kartu tenaga kerja luar negeri (KTKLN) dicabut, dan mengizinkan buruh migran berganti agency.
Mereka juga mengecam tindakan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) yang menggunakan kasus Erwiana untuk mencari lowongan kerja, bukan menyelesaikan perubahan kebijakan dan perlakuan yang membuat buruh migran semakin rentan.
"Perlindungan adalah tanggung jawab negara dan jangan dilemparkan kepada PJTKI, agency atau asuransi," ujar Sringatin lagi.
Long Hair, anggota legislatif dari Partai Sosial Demokratik turut memberi semangat kepada buruh migran untuk menuntut keadilan.
"Bagaimana mungkin praktik perbudakan justru dilegalisasikan oleh pemerintah Indonesia dengan memberi kuasa penuh kepada PJTKI dan agen untuk memeras buruh migran atas nama perlindungan. Pemerintah lah yang melegalisasikan perampasan upah dan menempatkan buruh migran sebagai objek," ujar dia lagi.
Long Hair mempertanyakan, dengan kondisi tersebut, apa peran pemerintah sebenarnya.
Menurut Sringatin, Komite yang akan menggalang kasus-kasus pelanggaran agency dan mengangkatnya ke publik serta mengadukan kepada Pemerintah Hongkong dan negara pengirim.
"Pelanggaran harus dihentikan dan hanya bisa dimulai jika semua pemerintahan terlibat, agar lebih tegas menghadapi agen-agen pelanggar yang mengubah peraturan sehingga merugikan hak para," kata Sringatin. (B014)
Editor: B Kunto Wibisono
Sumber
Buruh migran Hongkong tuntut agen Erwiana ditutup

Terkena Serangan Jantung, TKI Asal Madiun Tewas di Saudi Arabia



MADIUN- Seorang Tenaga Kerja Indonesia (TKI) asal Desa Putat, Kecamatan Kebonsari, Kabupaten Madiun meninggal dunia di negara tempatnya bekerja, Saudi Arabia. TKI yang telah bekerja selama 14 tahun tersebut ditemukan tewas di dalam kamar mandi oleh majikannya.
Perempuan bernama Sri Hartatik (42) itu diduga meninggal dunia karena serangan jantung. Kabar kematian ibu dua anak tersebut diketahui oleh keluarga setelah Nova, sang majikan yang juga seorang WNI asal Jambi menelpon anak korban yang bernama Nurwati.
Keluarga tak menyangka, perempuan yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga itu meninggal dunia. Sebab beberapa hari sebelumnya Hartatik masih sempat menelpon keluarga yang di kampung halaman.
Pihak keluarga berharap, jenazah Hartatik segera dipulangkan ke tanah air secepatnya. (gar) (Asfi Manar/Sindo TV) (ahm)
Sumber
Terkena Serangan Jantung, TKI Asal Madiun Tewas di Saudi Arabia
 

Tag

IP

My-Yahoo

Blogger Widget Get This Widget

Histast

Total Pengunjung