Hal itu diungkapkan Direktur Migrant Care Anis Hidayah kepadaRakyat Merdekadi Jakarta, kemarin. Menurutnya, hal itu terjadi karena lambatnya pemerintah dalam melakukan pemulangan TKI overstayer. Padahal, para TKI sudah berada di penampungan sejak November 2013.
“Dalam kejadian ini penanganan pemerintah antiklimaks. Pemerintah sangat lambat melakukan penanganan dan tidak memperdulikan nasib rakyatnya. Para TKI dibiarkan menunggu tanpa kejelasan kapan akan dipulangkan ke Indonesia,” kata Anis.
Akibatnya, kata Anis, mayoritas TKI di penampungan mengalami stres berat, karena terlalu lama mendekam di tempat penampungan. Seharusnya, pemerintah segera memulangkan TKI yang berada di penahanan. Karena, mereka sudah tidak mempunyai akses untuk mendapatkan pekerjaan dan kembali ke Tanah Air. Bahkan, untuk mendapatkan keduanya mereka dipersulit dan diabaikan.
Menurutnya, peristiwa kerusuhan ini harus dijadikan pelajaran bagi pemerintah untuk mengevaluasi pengiriman TKI ke Arab Saudi. Selain itu, harus bisa melayani warga negaranya yang mencari nafkah di luar negeri dan memberikan kemudahan jika ada yang ingin kembali ke Tanah Air.
“Harusnya Pemerintah berbenah diri. Jangan terus menerus melakukan pengiriman TKI ke Arab Saudi, kecuali semua TKI yang di Saudi terbebas dari masalah. Akan tetapi, Pemerintah tidak melihat ke arah itu. Hanya mementingkan devisanya saja, tanpa memberikan perlindungan yang maksimal,” tudingnya.
Berdasarkan info dari Migrant Care, sudah ada dari para relawan yang menangani para TKI. Namun, pihaknya belum terlihat ada perwakilan pemerintah yang ikut mendampingi. “Jangan mentang-mentang tidak ada korban pemerintah jadi terkesan setengah hati. Perlakuan pemerintah harus adil dan tidak memandang ada korban atau tidak,” tuturnya.
Aktivis LSM Perlindungan Buruh Migran Lily Pujiati menyatakan, untuk melakukan pemulangan TKI Overstayer tidaklah sulit. Menurutnya, asalkan ada koordinasi yang baik antara Kemenlu dan KJRI, penanganan TKI akan lebih mudah. Sayangnya, selama ini koordinasi keduanya kacau balau dan tumpang tindih dalam melaksanakan tugasnya.
“Pemerintah melalui Kemenlu harus bisa melakukan pemulangan. Karena memang sudah tugas dari Kemenlu dan sudah ada anggarannya untuk memulangkan TKI. Kalau memang tidak bisa berarti power dalam diplomasi masih lemah,” ungkapnya.
Lily menyebut, masalah yang dihadapi TKI itu selalu sama. Diantaranya, nama seorang TKI tidak sama ketika berangkat dan pulang, sehingga paspornya tidak dapat dilacak dan sulit pulang. Lalu ada pengenaan denda terhadap Warga Negara Asing (WNA) di Arab yang melebihi batas izin tinggal.
Lily menyarankan, agar masalah serupa tidak terulang lagi. TKI yang akan bekerja kembali ke Arab dan negara penempan lainnya. Harus diproses dengan benar. Pertama, mulai dari proses pemenuhan dokumen resmi. Karena banyak yang tidak berdokumen resmi. Kedua, kemampuan individu harus dilatih. Ketiga harus mengetahui negara penempatan dan budayanya.
Sebelumnya, telah terjadi kerusuhan di Tarhil Shumaysi, Jeddah, Arab Saudi, sebuah lokasi penampungan TKI yang akan dipulangkan ke negara asalnya pada hari minggu pekan lalu. Satu orang dilaporkan tewas dan sembilan lainnya luka-luka. Akan tetapi, belum diketahui negara asal para korban.
Berdasarkan data Konsulat Jenderal Republik Indonesia Jeddah per 21 Januari lalu, sekitar 1.400 buruh migran yang masih ditampung di Shumaysi. Mereka semua sedang menunggu dokumen deportasi untuk dipulangkan ke Indonesia. Jumlah tersebut termasuk ribuan warga negara Indonesia yang melampaui batas izin tinggal resmi(overstayers).
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri, Michael Tene mengatakan, tidak ada WNI yang menjadi korban dan terlibat dalam kejadian tersebut. “Informasi yang kami peroleh tidak ada korban. Kami akan terus berkoordinasi dengan perwakilan Indonesia,” ujarnya.
Tene menambahkan, KJRI sudah memberi arahan kepada para TKI agar tertib menunggu giliran dipulangkan. Selama berada di Shumaysi, segala kebutuhan TKI overstayer ditanggung penuh pemerintah Arab Saudi. Sebab, fasilitas Shumaysi dan kebijakan deportasi buat buruh migran overstay merupakan kebijakan Arab Saudi.
Mental Siswa & Guru Rawan Terganggu ...
Ujian Nasional Dikawal 30 Ribu PolisiPelaksanaan Ujian Nasional (UN) pada tahun ini kembali akan dikawal aparat kepolisian. Hal ini semakin mempertegas bahwa pelaksanaan UN tak ubahnya seperti kondisi berbahaya. Padahal, UN adalah kegiatan evaluasi atas hasil belajar siswa selama menempuh satu jenjang pendidikan.
Sekjen Federasi Guru Independen Indonesia (FGII) Iwan Hermawan, melihat pelibatan aparat kepolisian sudah mempertegas bahwa UN adalah sebuah kondisi yang darurat. “Ini adalah situasi darurat untuk pendidikan nasional yang berawal dari ketidakpercayaan pemerintah kepada guru,” katanya saat dikontakRakyat Merdeka, kemarin.
Pelibatan polisi juga menandakan pelaksanaan UN tidak aman. “Ketika siswa sedang UN, pengawalan dari polisi akan membawa dampak psikologis bagi siswa, dimana siswa diintimidasi melalui kehadiran polisi, baik itu kehadiran polisi berseragam maupun mobil polisi di lingkungan sekolah,” katanya.
Iwan mengaku, prihatin karena saat pelaksanaan UN, para siswa, guru, dan pengawas dianggap sebagai orang jahat sehingga harus diawasi polisi. “Padahal secara teknis UN juga diawasi oleh perguruan tinggi,” imbuhnya.
Pengamat pendidikan Doni Koesoema menilai, pengawalan ketat aparat kepolisian dalam pelaksanaan ujian nasional terlalu berlebihan. “Kalau prinsipnya menjaga kerahasiaan, polisi sebaiknya ditempatkan pada beberapa titik dalam distribusi logistik UN, tapi tidak boleh keluyuran di sekolah-sekolah,” katanya.
Dia menilai pengawalan ketat kepolisian menunjukkan pemerintah gagal membangun sistem pendidikan yang mandiri dan juga pelaksanaan UN yang bermutu. “Yang harus ditangani itu bagaimana modus-modus pelanggaran dan kecurangan dalam UN harus dihukum,” ujarnya.
Doni juga mengusulkan agar pemerintah membuat mekanisme pelaporan terkait pelanggaran dan kecurangan dalam UN.
Setidaknya bakal ada 30 ribu personel polisi yang terlibat dalam penjagaan UN 2014. mengawasi di percetakan, mengawal pendistribusian, dan menjaga di gudang-gudang panitia provinsi.
Rakyat Belum Nikmati Potensi Bisnis Kelautan
Himitekindo Minta Mahasiswa TerlibatKetua Dewan Pakar Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Kelautan Indonesia (Himitekindo) Badarudding Andi Picunang meminta mahasiswa terlibat aktif dan menjadi garda terdepan dalam memanfaatkan potensi kelautan Indonesia. Menurutnya, potensi laut harus dimaksimalkan untuk kemaslahatan rakyat.
“Kita patut berbangga karena Kementerian Kelautan dan Perikanan telah mendesain program yang menurut saya inilah yang kita butuhkan untuk menjadi negara maritim dan negara yang kuat, Jadi jangan selalu berpikir daratan. Sumber daya alam kelautan kita sangat kaya dan belum dimanfaatkan,” kata Badarudding dalam Simposium Nasional Kelautan Himitekindo di Universitas Padjajaran (Unpad), Bandung, kemarin.
Badar menilai, program Blue Economy dari pemerintah tidak bisa hanya dilaksanakan secara teoritis, karena program inilah yang dapat menjadikan Indonesia negara maritim yang sesungguhnya.
Lebih jauh Badar yang merupakan inisiator berdirinya Himitekindo mengungkapkan, kebahagiaannya karena Himitekindo sudah menjadi organisasi yang besar dan telah tersebar dari Sabang sampai Merauke.
Kondisi ini, diperkirakannya, akan menjadi modal besar untuk kemajuan Ilmu dan Teknologi kelautan Indonesia.
Badar menambahkan, Himitekindo merupakan inisiator berdirinya Kementerian Kelautan dan Perikanan yang dibentuk dengan tujuan pengembangan Ilmu dan Teknologi Kelautan demi terwujudnya masyarakat adil dan makmur. “Pada saat kami rumuskan Himitekindo ini kami merekomendasikan untuk dibuat departemen khusus untuk kelautan, dan Alhamdulillah saat Gusdur menjadi Presiden keinginan kami ini dapat tercapai,” ujar Caleg Partai Golkar untuk daerah pemilihan DKI Jakarta III ini.
Turut hadir dalam Simposium Nasional Kelautan ini Menteri KKP Syarif Cicip Sutartjo dan perwakilan mahaiswa kelautan dari 20 universitas. *** sumber RMOL