![]() |
| Kantor Ombudsman Republik Indonesia yang berada di kawasan Jalan Rasuna Said. Keberadaan lembaga ini adalah untuk menampung kritik dan saran atas pelayanan publik. |
sumber buruhmigran
Share Berita Terkini Tentang Buruh Migran
![]() |
| Kantor Ombudsman Republik Indonesia yang berada di kawasan Jalan Rasuna Said. Keberadaan lembaga ini adalah untuk menampung kritik dan saran atas pelayanan publik. |
Jakarta (ANTARA) - Arab Saudi menutup negosiasi dengan Indonesia terkait dengan pemotongan kuota haji 2013, kerugian akibat uang muka kontrak kepada sejumlah pemilik pemondokan, perusahaan katering dan penerbangan.
Pemerintah Arab Saudi pun telah berkirim surat melalui Duta Besarnya di Jakarta, yang menegaskan bahwa pemotongan kuota haji sebesar 20 persen dari kuota dasar 211 ribu sudah menjadi keputusan final, kata Menteri Agama Suryadharma Ali kepada pers di Bandara Soekarno Hatta, Jakarta, Sabtu.
Saat memberikan penjelasan tersebut, Menag Suryadharma Ali didampingi Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umroh (PHU) Anggito Abimanyu, Kepala Biro Umum Burhanuddin dan Kepala Pusat Informasi dan Humas, Zubaidi dan sejumlah pejabat lainnya.
Menag mengatakan keputusan pemerintah Saudi menutup negosiasi sangat disesalkan.
Sejatinya Menteri Agama Suryadharma Ali akan bertolak ke Saudi pada pukul 11.00 WIB, Sabtu siang. Tapi keberangkatan tersebut dibatalkan karena Dubes Saudi di Jakarta telah menyampaikan surat dari Menteri Haji Arab Saudi Bandar Bin Muhammad Haiiar, yang isinya bahwa pemotongan kuota haji 20 persen bagi seluruh negara sudah final.
Menteri Agama menjelaskan awalnya Indonesia meminta tambahan kuota 30 ribu yang diharapkan pada 2013 jemaah yang bisa bertolak sebanyak 241 ribu. Ternyata, permintaan tambahan itu tak dipenuhi, bahkan kuota dikurangi 20 persen dari kuota dasar 211 ribu.
Sebetulnya keinginan Menteri Agama untuk bertemu dengan menteri haji Saudi bukan saja terkait ingin menegosiasikan persoalan kuota, tetapi potensi kerugian yang ditimbulkan dari dampak kebijakan pemerintah setempat.
Indonesia bakal mengalami kerugian sebesar Rp800 miliar, termasuk dari penyelenggara ibadah haji khusus.
Kerugian itu bersumber dari kontrak perumahan yang sudah dibayar 50 persen dari harga pondokan, termasuk catering dan penerbangan. "Kita ingin membicarakan ini," kata Suryadharma Ali.
Menteri mengaku sangat sulit melakukan negosiasi dengan pemilik pondokan, selain jumlahnya banyak juga warga di sana memiliki watak egois.
Karena itu pihaknya berharap pemerintah Saudi bisa turut membantu untuk mengurangi kerugian yang ditumbulkan sebagai dampak dari kebijakan mereka sendiri.
Dalam penyelenggaraan ibadah haji, Indonesia selalu melakukan persiapan lebih awal. Selain karena jemaahnya banyak, tentu membutuhkan persiapan matang. Karena itu, kontrak dengan pemilik pondokan, pemilik katering, dan perusahaan lainnya dilakukan lebih awal.
Ia menjelaskan jika dirinci kerugian dari penyelenggaraan haji regular saja bisa mencapai Rp492 lebih. Untuk kalangan swasta sekitar Rp325 miliar, termasuk penyelenggara haji khusus sebesar Rp150 miliar.
Lantas bagaimana dengan Jemaah haji dari tanah air, menurut dia, Indonesia diminta konsisten dengan kuota yang sudah dipotong 20 persen, atau sebanyak 168.800 jemaah untuk musim haji 2013.
Untuk itu pihaknya akan mengatur pemotongan itu secara proporsional, setiap propinsi dipotong 20 persen. Termasuk untuk Jemaah haji khusus, dari kuota 17 ribu dipotong 20 persen.
Dengan kriteria, Jemaah usia 75 tahun ke atas atau usia lanjut (lansia), yang sudah mengenakan tongkat dan kursi roda tidak diberangkatkan.
Bagi Jemaah haji yang tahun ini tak berangkat, akan diprioritaskan pada tahun berikutnya.
Kriteria bagi lansia dan usia 75 tahun itu atas pertimbangan keselamatan.
Pasalnya, proyek perluasan halaman tawaf, masjidil haram hingga kini belum rampung. "Dijamin berangkat bagi yang sudah terdaftar masuk pada tahun ini. Tanpa pemotongan jika ongkos naik haji naik," ia menegaskan.(rr)
![]() |
| Jumhur Hidayat saat menerima catatan kritik dan rekam dokumentasi advokasi kebijakan KTKLN dari Abdul Rahim Sitorus |
REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Jeddah menyatakan, kasus Penolakan SPLP TKI hanyalah kesalahpahaman.
Penolakan tersebut terjadi karena salah satu petugas di Pusat Deportasi Dallah, Arab Saudi, tak mengetahui bahwa Surat Perjalanan Laksana Paspor (SPLP) sama dengan paspor umum.
Duta Besar Republik Indonesia untuk Arab Saudi Gatot Abdullah Mansyur menyatakan, kejadian itu sebenarnya hanya sebuah kasus. Karena menurut dia di beberapa kota lain, proses Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di pusat deportasi untuk melakukan sidik jari berjalan lancar.
Proses itu dilakukan agar Tenaga Kerja Indonesia bisa bekerja kembali. Selain itu, majikan atau perusahaan tempat TKI itu bekerja juga harus membayar 350 riyal (RP 926 ribu) untuk izin tinggal selama satu tahun.
Kasus penolakan SPLP, lanjut dia, kemungkinan terjadi karena petugas di Pusat Deportasi tak mengerti bahwa SPLP itu sama dengan paspor. Ia menganggap SPLP yang memiliki jangka waktu satu tahun sama dengan dokumen perjalanan.
Tak hanya warga Indonesia menurut dia, beberapa tenaga kerja asing seperti India, Bangladesh dan Pakistan juga sempat mendapat penolakan serupa.
''Malah SPLP tenaga kerja Pakistan disobek-sobek,'' ucap dia kepada Republika, Kamis (20/6).Oleh karena itu, KBRI mengirimkan nota diplomatik kepada Kementerian Luar Negeri Arab Saudi.
Nota itu berisi penjelasan bahwa SPLP sama dengan paspor pada umumnya. KBRI juga meminta Kemenlu Arab Saudi mengatur pertemuan dengan Departemen Paspor yang berada di bawah Kemendagri Arab Saudi.
Hingga kini menurut dia sudah sekitar 74 ribu surat TKI yang terdaftar di KJRI Jeddah. Dari angka tersebut sebanyak 30 ribu SPLP sudah diterbitkan dan 27.568 sudah diberikan kepada TKI.

SEKILAS INFO | Abu Ameera![]() |
| Kepala BNP2TKI Jumhur Hidayat |

TEMPO.CO, Jakarta - Sebanyak 78 TKI yang ditahan setelah kerusuhan di kantor Konsulat Jenderal RI, Ahad pekan lalu, 9 Juni 2013, akan segera dipulangkan oleh pemerintah Arab Saudi. "Enam di antaranya akan diproses secara hukum terlebih dahulu," kata Marty ketika ditemui sebelum rapat kerja dengan Komisi Tenaga Kerja Dewan Perwakilan Rakyat RI, Selasa, 18 Juni 2013.
Dia menuturkan, pemerintah Indonesia akan mematuhi peraturan hukum di Arab Saudi. Menurut Marty, sebanyak 78 orang jelas terlihat melakukan tindakan yang melanggar hukum setempat. Mereka melakukan pembakaran, melempar benda benda keras ke arah gedung KJRI, bahkan berusaha merusak pintu KJRI. Jadi, ini memang tindakan yang melanggar hukum.
"Oleh karena itu, mereka ditahan di Deportation Centre, yaitu tempat orang orang yang akan dideportasi ditahan untuk proses deportasi ke Indonesia," tutur Marty.
Ahad pekan lalu, 9 Juni 2013, ribuan TKI mendatangi KJRI Jeddah untuk mengurus pemutihan dokumen seputar masa tinggal yang telah habis atau karena tidak memiliki dokumen resmi. Kerusuhan pecah setelah beredar kabar batas waktu pemutihan masa tinggal telah habis. Kabar ini membuat massa mengamuk. Mereka membakar berbagai peralatan di depan gedung Konsulat Jenderal RI.
Seorang TKI bernama Marwah binti Hasan asal Bangkalan, Madura, meninggal akibat membeludaknya antrean pada pengajuan pemutihan izin tinggal di gedung KJRI.

TEMPO.CO, Purwokerto--Marini, 48 tahun, selama belasan tahun tak bisa pulang ke kampungnya Purwokerto karena tak memiliki uang. Ia berangkat ke negara petro dolar itu tahun 1996 dan hingga kini belum bisa pulang.
"Ia dulu kabur dari rumah majikannya karena sering dianiaya majikannya," kata Maryadi, 44 tahun, suami Marini, Rabu 12 Juni 2013.
Ia mengatakan, sesekali dirinya masih bisa berkomunikasi dengan istrinya itu. Saat ini, kata dia, Marini hanya bisa bekerja serabutan dan tak mempunyai tempat tinggal.
Maryadi menambahkan, isterinya berangkat menjadi TKI ke Arab Saudi sejak 1996 lalu. Di Arab, Marini hanya bekerja selama setahun dan memutuskan kabur karena tak kuat disiksa majikannya. "Selama ini kalau tidur hanya menumpang di sekitar masjid," ujarnya.
Ia mengungkapkan, meski isterinya hidupnya terlunta-lunta, tetapi setiap pekan pasti menelepon ke rumah. "Dua atau tiga hari sekali, biasanya menelepon ke sini. Ia menanyakan kabar anaknya dan keluarga," kata dia.
Kepala Seksi Perlindungan dan Penempatan TKI Dinas Tenaga Kerja Banyumas, Agus Widodo mengatakan Pemerintah Banyumas siap membantu keluarga Maryadi untuk mencari Marini. "Kami menyarankan agar saat Marini menghubungi agar tanya keberadaannya di mana sehingga nanti bisa dilacak. Kalau saat ini agak sulit karena tidak diketahui posisi Marini di mana dan apakah sudah punya majikan apa belum," kata Agus.
TEMPO.CO, Jakarta
- Pemerintah Indonesia meminta Arab Saudi untuk memperpanjang program
pengampunan atau amnesti yang diberlakukan pemerintah negara itu sejak
11 Mei-3 Juli 2013. Menurut Deputi Penempatan Badan Nasional Penempatan
dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Agusdin Subiantoro, dari 150.000
-200.000 buruh migran ilegal, belum ada separuh yang sudah tertangani
hingga saat ini.![]() |
| enny Wahid ketika konsultasi dengan Pakde Karwo di sela KLB Partai Demokrat, di Bali, 29 Maret 2013 |

TEMPO.CO, Jakarta - Duta Besar Indonesia untuk Arab Saudi, Gatot Abdullah Mansyur, menjamin akan memberi bantuan hukum kepada puluhan tenaga kerja Indonesia yang ditangkap polisi Saudi. Mereka ditangkap karena diduga terkait dengan kerusuhan di depan gedung Konsulat Jenderal RI di Jeddah, Arab Saudi, Ahad lalu, 9 Juni 2013.
"Kami akan memberi bantuan hukum kalau prosesnya sampai di pengadilan," kata Gatot melalui telepon kepada Tempo dari Riyadh, Rabu, 12 Juni 2013.
Gatot mengatakan polisi menangkap mereka karena diduga terlibat dalam insiden di depan gedung Konsulat Jeddah. Di samping itu, dia menduga para TKI itu ilegal karena izin tinggalnya sudah kadaluwarsa (overstay).
"Kalau diduga terlibat kerusuhan, ada kemungkinan diberikan sanksi. Kami akan memberi pembelaan kalau memang itu terjadi. Tetapi kalau hanya overstayers, kemungkinan mereka akan dideportasi," kata dia.
Gatot belum memastikan identitas dan jumlah TKI yang tertangkap polisi Arab Saudi tersebut. Saat ini, mereka ditahan di Karantina Imigrasi Jeddah.
Dia mengatakan pemerintah menghormati langkah polisi Saudi tersebut sebagai upaya penegakan hukum. Kemungkinan, ucap Gatot, tindakan polisi itu adalah pelaksanaan penegakan hukum di wilayah kedaulatannya. Karena itu mereka menangkap orang-orang yang diduga melakukan keributan-keributan di wilayah kedaulatannya.
Insiden di Konsulat Jeddah terjadi saat ribuan TKI datang untuk mengurus pemutihan dokumen masa tinggal yang telah habis atau TKI yang tidak memiliki dokumen resmi. Kerusuhan pecah setelah beredar kabar batas waktu pemutihan telah habis. Kabar ini membuat massa mengamuk. Mereka membakar berbagai peralatan di depan gedung Konjen RI. Padahal sebenarnya batas akhir adalah 3 Juli mendatang.
Selain itu, keterbatasan lokasi pelayanan Surat Perjalanan Laksana Paspor (SPLP) membuat banyak orang tidak sabar. Diperkirakan sekitar 80 ribu warga negara Indonesia akan mengurus surat pengampunan dan pemutihan. Sedangkan tempat pengurusan pemutihan hanya ada di dua lokasi yaitu Kedutaan Besar RI di Riyadh dan Konjen RI di Jeddah.
Kerusuhan tersebut menyebabkan seorang TKI asal Sampang, Marwah binti Hasan, tewas karena terimpit dan terinjak-injak. Perempuan 55 tahun itu sudah dimakamkan di Arab Saudi. Menurut Gatot, pasca kerusuhan tersebut, pelayanan pengurusan pemutihan kembali normal. Kedutaan membuka loket layanan seperti biasa dan melayani sekitar 5.000 TKI setiap harinya.
RUSMAN PARAQBUEQ
TEMPO.CO, Jakarta - Duta Besar Indonesia untuk Arab Saudi, Gatot Abdullah Mansyur, membenarkan bahwa polisi Arab Saudi menangkap puluhan tenaga kerja Indonesia pasca-insiden kerusuhan di kantor Konsulat Jenderal di Jeddah. Namun, Gatot belum mengetahui jumlah pasti dan identitas warga yang tertangkap tersebut.
"Berita itu betul, jumlahnya sekitar (30 orang) itu. Tapi kami belum bisa pastikan jumlahnya terakhir," kata Gatot melalui telepon dari Riyadh, Rabu, 12 Juni 2013.
Gatot mengatakan penangkapan TKI tersebut terjadi setelah kerusuhan di depan kantor KJRI Jeddah. Meski demikian, dia belum mendapat kepastian dugaan sangkaan terhadap mereka, apa karena alasan terlibat kerusuhan tersebut atau karena termasuk kategori overstayers di Arab Saudi.
"Kemungkinan itu adalah pelaksanaan penegakan hukum suatu negara di wilayah kedaulatannya. Karena itu, mereka menangkap orang-orang yang diduga melakukan keributan-keributan di wilayah kedaulatannya. (Keributan) itu di luar KJRI," kata Gatot.
Gatot memperoleh informasi puluhan TKI tersebut untuk sementara diamankan di Kantor Karantina Imigrasi di Jeddah. "Jadi bukan diamankan di kantor polisi."
Ahad lalu, 9 Juni 2013, ribuan TKI mendatangi KJRI Jeddah untuk mengurus pemutihan dokumen seputar masa tinggal yang telah habis, atau karena tidak memiliki dokumen resmi. Kerusuhan pecah setelah beredar kabar batas waktu pemutihan masa tinggal telah habis. Kabar ini membuat massa mengamuk. Mereka membakar berbagai peralatan di depan gedung Konsulat. Padahal sebenarnya batas akhir adalah 3 Juli mendatang.
Selain itu, keterbatasan lokasi pelayanan Surat Perjalanan Laksana Paspor (SPLP) membuat banyak orang tidak sabar. Diperkirakan sekitar 80 ribu warga negara Indonesia akan mengurus surat pengampunan dan pemutihan. Sedangkan loket yang tersedia hanya ada di dua lokasi, yaitu Kedutaan Besar RI di Riyadh dan KJRI di Jeddah.
Kerusuhan tersebut menyebabkan seorang TKI asal Sampang, Marwah binti Hasan, tewas karena terimpit dan terinjak-injak. Perempuan 55 tahun itu sudah dimakamkan di Arab Saudi.
Menurut Gatot, pasca-kerusuhan tersebut, pelayanan pengurusan pemutihan kembali normal. Kedutaan membuka loket layanan seperti biasa dan melayani sekitar 5.000 TKI setiap hari. "Tidak ada penutupan loket dalam dua hari terakhir. Penutupan terjadi hanya pada saat terjadi keributan itu," kata Gatot.
RUSMAN PARAQBUEQ
MERDEKA.COM. Marwah binti Hasan, tenaga kerja
Indonesia (TKI) yang dilaporkan meninggal dunia dalam kericuhan di depan
Konsulat Jenderal Indonesia (KJRI) Jeddah, Arab Saudi, Minggu (9/6),
berasal dari Kabupaten Sampang, Pulau Madura, Jawa Timur. Seperti
dikutip dari Antara, Rabu (12/6).
TEMPO.CO , Jeddah: Aisah, 32 tahun, tak henti-hentinya menangis. Tenaga kerja Indonesia asal Cikijing, Majalengka itu bingung dan risau. Suaminya, Suhendi, 45 tahun, ditangkap polisi Arab Saudi karena dituduh terlibat huru-hara pembakaran Konsulat Jenderal Republik Indonesia di Jeddah, Senin, lalu.
»Kami cuma mau pulang, tadinya mau mendapatkan dokumen supaya bisa keluar dari Arab Saudi, uang tiket dari gaji yang masih di tangan majikan, sekarang tidak tahu harus bagaimana,” kata Aisah tersedu-sedu.
Aisah dan suaminya bekerja di majikan yang sama di Jamiah, Jeddah. Mereka mengetahui pemutihan dari laman Facebook dimana Suhendi ikut bergabung. Keduanya ingin mengurus Surat Perjalanan Laksana Paspor (SPLP) agar dapat kembali ke kampung halaman meskipun bayar tiket sendiri. Seharusnya, surat izin keluar diperoleh Rabu hari ini. Namun, rupanya nasib berkata lain.
Senin kemarin, keduanya tiba di KJRI Jeddah sekitar pukul 17.00. Aisah berpisah dengan suaminya di pintu masuk KJRI karena jalur laki-laki dan perempuan dibedakan. Mereka akan kembali bersama-sama setelah di dalam untuk pengurusan SPLP.
Aisah tiba di dalam dan selesai mengurus SPLP terlebih dulu. Tapi, dia tak bertemu suaminya. Aisah menelepon hingga hampir 20 kali, tapi tak diangkat. Kadang terdengar nada sibuk, atau mati. Baru sekitar pukul enam sore, Suhendi menulis pesan singkat. Bunyinya mengagetkan: »Saya ketangkap, kamu langsung pulang ke rumah.”
Aisah pun pulang sambil menangis. Sekitar pukul 7 malam, Suhendi kembali mengirim pesan singkat: »Beresin barang kamu, jual dan pulang ke Indonesia.” Aisah berusaha menelepon tapi gagal.
Sekitar pukul dua pagi waktu Arab Saudi, Suhendi kembali mengirim pesan singkat. »Saya sudah di depan penjara Tarhill, kemungkinan besar tidak bisa komunikasi lagi.”
Suami Aisah mengatakan ada sekitar 30-an orang termasuk dia diciduk polisi setempat.
Mereka tak diberi makan dan minum selama diamankan di kantor polisi Samali Hirehab, padahal sudah lebih dari 10 jam. »Katanya dia ditangkap lantaran ada berita kumpulan orang-orang bawa senjata, suami saya tidak bersalah, dia tidak bawa apa-apa,” kata Aisah kepada Tempo terisak.
Aisah merasa kecewa karena merasa suaminya menjadi korban asal tangkap, tanpa diselidiki lebih dahulu. Dia kini tinggal di penampungan bersama 20 orang lainnya. Dia kebingungan lantaran tidak punya uang, dan tidak tahu harus mengadu ke mana. »Semua orang di sini juga susah,” katanya. »Pemerintah Indonesia mikirin saya atau nggak? Saya ingin pulang, tapi enggak tahu harus bagaimana, uang buat beli tiket enggak ada.”
NATALIA SANTI
| Ilustrasi (Foto: Doc) |
TEMPO.CO, Bandung - Sekretaris Jenderal Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muchtar Luthfie mengatakan, pemerintah mengupayakan membuka lokasi loket tambahan untuk melayani pemutihan berkas administrasi tenaga kerja Indonesia di Arab Saudi. Hal ini menindaklanjuti kerusuhan di KJRI Jeddah yang mengakibatkan satu WNI tewas. "Penambahan tidak hanya di Jeddah dan Riyadh, tapi juga diusahakan di Madinah untuk memecah antrian," kata dia di Bandung, Selasa, 11 Juni 2013.
Insiden yang terjadi di Konsulate Jenderal RI di Jeddah itu, akibat beredarnya informasi menyesatkan yang menyebutkan Ahad, 10 Juni 2013, merupakan hari terakhir pelayanan pemutihan berkas administrasi tenga kerja Indonesia di Arab Saudi. Padahal hari terakhir, layanan itu pada 3 Juli 2013. "Sehingga semuanya berdesak-desakan untuk mendapatkan pelayanan pendaftaran," kata Muchtar.
Menurut dia, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi juga sudah mengirim pegawainya ke Arab Saudi, salah satunya untuk membantu memperbanyak loket pendaftaran baru. Muchtar mengatakan, pemerintah Indonesia juga sudah meminta Konsulat Jenderal Republik Indonesia untuk merekrut warga Indonesia setempat untuk membantu petugas melayani pendaftaran pemutihan berkas administrasi tenakga kerja Indonesia di Arab Saudi.
Muchtar mengatakan, pengiriman gelombang petama petugas baru sudah dilakukan sejak kemarin, Senin, 10 Juni 2013. "Dengan banyaknya tenaga yang ada di sana, dan juga pembukaan loket-loket baru, diharapkan tidak terjadi antrian cukup panjang," kata dia.
Menurut dia, sejumlah kementerian menggelar rapat koordinasi untuk mengetahui kondisi terkini pasca insiden itu. Kementerian yang akan terlibat yaitu Kementerian Luar Negeri, dengan Kementerian Agama, Kementerian Hukum dan HAM, dan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. "Kami masih terus memantau perkembangan yang ada di sana," kata Muchtar.
Muchtar mengatakan, identifikasi sementara, sekitar 100 ribu warga negara Indonesia yang akan mendaftar meminta pemutihan. Mayoritas, kata dia, warga yang overstay di Arab Saudi, kebanyakan bekerja dengan dalih Umroh. "Terjadi overstayer ada yang umroh," kata dia.
Menurut dia, informasi terakhir yang diperolehnya, jumlah warga Indonesia yang sudah mendaftar, jumlahnya bekisar 50 ribu orang. Sisanya, akan dilayani bertahap. Muchtar optimis, penambahan jumlah loket dan lokasi layanan seta petugas, akan melayani semua warga negara Indonesia yang hendak mengurus pemutihan hingga batas waktunya, 3 Juli 2013 nanti.
AHMAD FIKRI
TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, Djoko Suyanto, membantah jika pemerintah dituding tak becus dalam mengurus proses perpanjangan izin tinggal tenaga kerja Indonesia di Arab Saudi.
"Perwakilan Indonesia di Arab Saudi sudah mulai memproses perpanjangan izin ini mulai 18 Mei lalu, sejak kerajaan Arab Saudi memulai kebijakan itu pada 10 April lalu," kata Djoko di kantornya, Selasa, 11 Juni 2013.
Djoko mengklaim, penyebab kerusuh akibat merebaknya isu menyesatkan di kalangan tenaga kerja Indonesia. Isu itu menyebutkan bahwa proses terakhir pengurusan amnesty terjadi pada 9 Juni 2013, atau saat kejadian. Akibatnya, TKI mengepung kantor Konsulat Jenderal Republik Indonesia di Jeddah.
Konsulat Jeddah yang biasa melayani pendaftaran sampai enam ribu TKI, pada hari itu diserbu sekitar 12 ribu orang. Ditambah lagi, cuaca di Jeddah yang sangat panas, yang berkisar 40-45 derajat celcius sehingga membuat sebagian TKI frustrasi.
"Sehingga ada ketidaknyamanan dan terjadi aksi yang sangat disesalkan karena berlangsung di negara lain," kata Djoko. "Bahkan ada satu warga kita yang meninggal akibat berdesakan dan dehidrasi."
Soal pembakaran gedung Konsulat Jeddah, Djoko membantah. Dia mengklaim hanya plastik pembatas gedung yang menjadi sasaran amuk TKI. Djoko mengatakan kondisi terakhir di Konsulat Jeddah hari ini sudah kondusif.
Berdasar komunikasi terakhir Djoko dengan Direktur Perlindungan Warga Kedutaan Besar Republik Indonesia di Arab Saudi, menyebutkan, antrean TKI di kantor Konsulat Jeddah sudah mengular hingga 200 meter. Namun prosesnya berjalan lancar.
Kepolisian kerajaan Arab Saudi juga turut andil menambah jumlah personel di Konsulat Jedah. "Sebelumnya hanya ada 30 personel kini ditambah menjadi 100 personel. Semoga kejadian serupa tak terulang lagi."
Pada Ahad, 9 Juni 2013, warga negara Indonesia yang datang ke Konsulat Jenderal sejak awal telah terkonsentrasi di sepanjang jalan hingga di depan pintu gerbang Konsulat. Ketika pintu tersebut akan dibuka, sejumlah WNI dalam antrean tidak tertib dan berdesakan. AKibatnya, satu orang WNI tewas dan ratusan lainnya pingsan.
INDRA WIJAYA