Kalangan LSM dan serikat pekerja yang memantau pembahasan RUU PPILN
keempat di DPR menilai pemerintah tak rela untuk memberi perlindungan
terhadap pekerja migran. Menurut Koordinator JARI-PPTKLN dari serikat
pekerja Aspek Indonesia, Nurus Mufidah, dalam pembahasan yang
berlangsung sekitar dua jam itu pemerintah masih bersikukuh untuk
mengajukan judul “Penempatan dan Perlindungan Pekerja Indonesia di Luar
Negeri.”
Dari pantauannya, perempuan yang disapa Fida itu mengatakan dalam
sidang itu pemerintah menilai bahwa judul UU harus mencerminkan isi.
Mengingat, pemerintah mencatat lebih dari 40 persen ketentuan dalam RUU
PPILN mengatur soal penempatan, maka judul pemerintah itu dianggap
tepat. Walau begitu, usai berjibaku dengan sejumlah fraksi yang
menginginkan agar RUU tersebut menggunakan kata awal “Perlindungan,”
dengan terpaksa pemerintah menyepakatinya.
Melihat hal itu Fida menyebut, koalisi mendesak pemerintah untuk serius
melakukan perubahan dalam melindungi pekerja migran Indonesia.
“Pemerintah harusnya belajar dari pengalaman kegagalan memberikan
perlindungan kepada pekerja migran Indonesia di luar negeri sehingga
selama ini banyak pekerja migran Indonesia yang menjadi korban,” katanya
dalam keterangan pers yang diterima hukumonline, Senin (20/5).
Kekecewaan serupa menurut Fida juga dialami koalisi ketika melihat
sikap sejumlah fraksi yang mengakomodir keinginan pemerintah untuk
meletakan kata “penempatan” dalam RUU PPILN. Ia menilai sikap itu
sebagai menurunkan standar karena selama ini sejumlah fraksi sangat
tegas untuk tidak menggunakan kata “penempatan” dalam rangka
mengutamakan perlindungan untuk pekerja migran. Sementara fraksi
Demokrat sejak awal menurut Fida tidak menunjukkan keberpihakannya
melindungi pekerja migran. “Sama sekali tidak mempunyai itikad baik,”
keluhnya.
Selain itu Fida mengapresiasi sikap yang diambil anggota fraksi Golkar,
Poempida Hidayatulloh yang dianggap konsisten menolak kata “penempatan”
sebagai judul RUU PPILN. Tapi yang jelas, secara umum koalisi berharap
agar semua fraksi serius dalam membahas RUU tersebut dengan tujuan
memberikan perlindungan yang maksimal untuk pekerja migran Indonesia.
Sementara, anggota Komisi IX dari fraksi Golkar, Poempida Hidayatulloh,
mengatakan salah satu hal utama yang membuat dirinya tetap menolak kata
“penempatan' karena khawatir RUU PPILN menjadi tak fokus. Oleh
karenanya, jika kata tersebut dimasukan, bakal berpotensi terjadi
pemisahan basis referensi yang ujungnya pembahasan itu tak fokus pada
perlindungan, tapi penempatan semata. Apalagi, terjadinya komersialisasi
selama ini dalam proses pengiriman pekerja migran Indonesia ke luar
negeri berlangsung pada saat penempatan.
Atas dasar itu Poempida berharap dengan memposisikan perlindungan
sebagai judul utama, maka pekerja migran dapat berangkat ke luar negeri
secara mandiri, aman dan nyaman karena terlindungi. Ketika kata
“penempatan” ditambahkan dalam judul, maka memformalkan kekuasaan dalam
konteks penempatan pekerja migran berada di bawah pemerintah.
"Saya sampai sekarang tidak akan bisa menjamin bahwa pemerintah dapat
menjalankannya (perlindungan,-red) secara baik. Oleh karenanya, Fraksi
Golkar akan tetap 'ngotot', sampai titik darah penghabisan, kita tidak
akan berubah, tetap pada judul yang awal, yaitu perlindungan saja, tidak
ada kata penempatan," katanya dalam rilis yang diterima hukumonline, Selasa (21/5).
Sejalan dengan itu Poempida mengatakan, basis tanggung jawab pemerintah
sesungguhnya bukan pada penempatan ke luar negeri, tapi menyediakan
tenaga kerjanya. Untuk penempatan, Poempida lebih setuju jika pekerja
migran dapat bekerja ke luar negeri secara mandiri. Misalnya, ada
pekerja migran yang berpengalaman bekerja di luar negeri, ketika pekerja
migran itu mampu, maka tidak masalah untuk berangkat mandiri.
Terkait dengan hasil rapat Panja RUU PPILN yang dilakukan kemarin,
Poempida mengatakan belum ada hal yang bisa diputuskan disana. Dalam
rapat itu hanya membahas permasalahan judul RUU. "Hasilnya belum
diputuskan sebab ini Panja. Kalau Panja ini kan kerjaannya hanya
membahas, sehingga tidak bisa memutuskan. Yang bisa memutuskan nantinya
adalah Raker (Rapat Kerja) daripada Pansus (Panitia Khusus),"
pungkasnya.
sumber:hukumonline.com