Taipei (ANTARA News) -
Tenaga kerja Indonesia yang
menjadi korban penipuan
diamankan pihak Imigrasi
Taiwan karena dianggap
melakukan pelanggaran izin
tinggal.
Eko Budi Priyanto (26) warga
Dusun Gulunan RT 002/RW
002, Desa Kaliboto,
Kecamatan Mojogedang,
Kabupaten Karanganyar, Jawa
Tengah, itu sejak Rabu (1/10)
hingga kini ditahan di Pusat
Detensi Imigrasi Taiwan di
Distrik Nantou yang berjarak
sekitar 230 kilometer sebelah
selatan Ibu Kota Taiwan di
Taipei.
"Ya, kita mesti menaati aturan
yang berlaku di Taiwan," kata
Asisten Senior Bidang Tenaga
Kerja Kantor Dagang dan
Ekonomi Indonesia (KDEI)
Taiwan, Noerman Adhiguna,
saat dikonfirmasi di Taipei,
Kamis.
Sejak tanggal 21 September
2014, korban yang seharusnya
bekerja di Korea Selatan itu
ditampung di shelter TKI di
Taichung, Taiwan, setelah
terkatung-katung akibat tidak
mendapatkan pekerjaan
sebagaimana dijanjikan agen
penyalur TKI.
Dalam laporan tertulisnya,
Eko berangkat ke Taiwan
pada 19 Agustus 2014. Tujuan
semula, dia bekerja di Korsel.
Namun oleh calo, dia disuruh
melalui Taipei. "Saya seperti
kena magis gitu. Saya hendak
bekerja ke Korea (Selatan),
tapi disuruh ke Taipei dulu,"
ujarnya di Taichung, Selasa
(23/9).
Setibanya di Taipei, dia
bingung dan tidak mengerti
maksud dan tujuannya. Untuk
bisa bertahan hidup, dia
bekerja sebagai kuli bangunan
di Taipei.
Namun dia tidak sanggup
bekerja di bangunan karena
penyakit ambeiennya kambuh
sehingga dia berusaha
mencari pertolongan. "Syukur,
saya ketemu orang Indonesia
saat berada di warung
Indonesia di Taichung
sehingga saya bisa ke shelter,"
katanya.
Noerman meminta kepada
korban untuk bersabar sambil
menunggu proses hukum.
"Kami akan membantu
penanganannya sampai sidang
di imigrasi selesai," ujarnya
menambahkan.
Editor: Desy Saputra
Sumber www.antaranews.com/berita/457687/tki-korban-penipuan-diamankan-pihak-imigrasi-taiwan
Showing posts with label Tenaga Kerja Indonesia. Show all posts
Showing posts with label Tenaga Kerja Indonesia. Show all posts
Thursday, October 9, 2014
Wednesday, July 16, 2014
Selama Tujuh Bulan, 2.723 Warga Subang Pilih Jadi TKI
Selama Tujuh Bulan, 2.723 Warga Subang Pilih Jadi TKI
SUBANG - Kabupaten Subang Jawa Barat layak disebut basis Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Ini dibuktikan masih tinggi warga memilih bekerja di luar negeri, ketimbang di negeri sendiri. Sulitnya mencari pekerjaan, serta rendahnya upah minimum menjadi alasan warga harus jauh meninggalkan keluarganya demi mencari nafkah di negara asing. Selama kurun waktu tahun 2014, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Kabupaten Subang tercatat telah memberangkatkan sebanyak 2.723 orang TKI (Tenaga Kerja Indonesia) ke sejumlah negara. Jumlah tersebut baru 40 persen dari jumlah TKI yang diberangkatkan pada tahun 2013 lalu. Kepala Disnakertran Kabupaten Subang, Kusman Yuhana Natasaputra MSi menuturkan, hingga tanggal 15 Juli tahun 2014, ada sebanyak 2.723 orang pekerja asal Kabupaten Subang yang berangkat sebagai tenaga kerja di luar negeri. "Hingga bulan Juli, ada sebanyak 2.723 orang yang berangkat ke 10 negara di kawasan Timur Tengah dan Asia, seperti Bahrain, Brunei Darusalam, Hongkong, Malaysia dan Saudi Arabia," ujar Kusman kepada Pasundan Ekspres (JPNN Grup), Selasa (15/7). Dari 10 negara tujuan tenaga kerja asal Subang, Taiwan menjadi favorit dan terbanyak. Sebanyak 1.643 orang TKI memilih negara Taiwan mencari nafkah. Dari jumlah tersebut, sebanyak 173 orang TKI tercatat sebagai tenaga formal. "Taiwan didominasi pekerja informal, yaitu sebanyak 1.470 orang TKI. Dengan perincian perempuan 1.461 dan laki-laki 9 orang," jelasnya. Adapun data keberangkatan Tenaga Kerja Indonesia asal Kabupaten Subang yang terdaftar di Disnakertrans, Bahrain sebanyak 54 orang, Brunei Darusalam 9 orang, Hongkong 180 orang, Malaysia 55 orang, Oman sebanyak 370 orang, Qatar sebanyak 72 orang, Saudi Arabia 1 orang, Singapura 222 orang, Taiwan 1.643, dan Uni Emirat Arab sebanyak 117 orang. "Dari keseluruhan yang diberangkatkan tahun 2014, didominasi tenaga kerja informal sebanyak 2.532 orang. Sedangkan tenaga kerja formal sebanyak 191 orang," tegasnya. Jika dibandingkan dengan tahun 2013, keberangkatan TKI tahun ini baru sebanyak 40 persen dari keberangkatan tahun lalu. “Tahun 2013 yang diberangkatkan sebanyak 6.684 orang," pungkasnya.
Sumber ↓
SUBANG - Kabupaten Subang Jawa Barat layak disebut basis Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Ini dibuktikan masih tinggi warga memilih bekerja di luar negeri, ketimbang di negeri sendiri. Sulitnya mencari pekerjaan, serta rendahnya upah minimum menjadi alasan warga harus jauh meninggalkan keluarganya demi mencari nafkah di negara asing. Selama kurun waktu tahun 2014, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Kabupaten Subang tercatat telah memberangkatkan sebanyak 2.723 orang TKI (Tenaga Kerja Indonesia) ke sejumlah negara. Jumlah tersebut baru 40 persen dari jumlah TKI yang diberangkatkan pada tahun 2013 lalu. Kepala Disnakertran Kabupaten Subang, Kusman Yuhana Natasaputra MSi menuturkan, hingga tanggal 15 Juli tahun 2014, ada sebanyak 2.723 orang pekerja asal Kabupaten Subang yang berangkat sebagai tenaga kerja di luar negeri. "Hingga bulan Juli, ada sebanyak 2.723 orang yang berangkat ke 10 negara di kawasan Timur Tengah dan Asia, seperti Bahrain, Brunei Darusalam, Hongkong, Malaysia dan Saudi Arabia," ujar Kusman kepada Pasundan Ekspres (JPNN Grup), Selasa (15/7). Dari 10 negara tujuan tenaga kerja asal Subang, Taiwan menjadi favorit dan terbanyak. Sebanyak 1.643 orang TKI memilih negara Taiwan mencari nafkah. Dari jumlah tersebut, sebanyak 173 orang TKI tercatat sebagai tenaga formal. "Taiwan didominasi pekerja informal, yaitu sebanyak 1.470 orang TKI. Dengan perincian perempuan 1.461 dan laki-laki 9 orang," jelasnya. Adapun data keberangkatan Tenaga Kerja Indonesia asal Kabupaten Subang yang terdaftar di Disnakertrans, Bahrain sebanyak 54 orang, Brunei Darusalam 9 orang, Hongkong 180 orang, Malaysia 55 orang, Oman sebanyak 370 orang, Qatar sebanyak 72 orang, Saudi Arabia 1 orang, Singapura 222 orang, Taiwan 1.643, dan Uni Emirat Arab sebanyak 117 orang. "Dari keseluruhan yang diberangkatkan tahun 2014, didominasi tenaga kerja informal sebanyak 2.532 orang. Sedangkan tenaga kerja formal sebanyak 191 orang," tegasnya. Jika dibandingkan dengan tahun 2013, keberangkatan TKI tahun ini baru sebanyak 40 persen dari keberangkatan tahun lalu. “Tahun 2013 yang diberangkatkan sebanyak 6.684 orang," pungkasnya.
Sumber ↓
Monday, July 14, 2014
Perbaiki Perlindungan TKI, Melalui MoU dengan Negara Tujuan
JAKARTA (Pos Kota) – Untuk berikan perlindungan dan kesejahteraan yang memadai kepada tenaga kerja Indonesia (TKI) di luar negeri, pemerintah terus mendorong MoU / Agreement dengan negara- negara tujuan TKI di sektor informal seperti PLRT (penata laksana rumah tangga). Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi A. Muhaimin Iskandar mengatakan, agreement dengan Saudi Arabia mengenai TKI di sektor PLRT merupakan tonggak perbaikan perlindungan TKI di sektor ini ke Timur Tengah. “Tapi kita masih terus memonitor dan mengembangkan langkah- langkah implementatif dalam mempersiapkan penempatan sesuai kesepakatan dalam Agreement tersebut,” kata Muhaimin. Kemnakertrans, lanjutnya, juga terus mengampanyekan Slogan TKI “Jangan Berangkat Sebelum Siap” di 38 kantong TKI di Seluruh Indonesia, untuk mengurangi permasalahan TKI selama bekerja di luar negeri. “Sebelum berangkat dipastikan, minimal calon TKI harus siap fisik dan mental, siap bahasa dan keterampilan, siap dokumen dan siap pengetahuan serta hukum di negara tujuan,” ujarnya. Muhaimin menambahkan, pemerintah juga sudah membuat Roadmap Zero Domestic worker tahun 2017, sehingga nantinya TKI domestic worker harus berbasis pada 4 jabatan kerja yaitu ‘house keeper’ (pengurus rumah tangga), ‘cooker’ (tukang masak), ‘baby sitter ‘ (pengasuh bayi/ anak), ‘caregiver’ (perawat jompo). Kemenakertrans, lanjutnya, juga terus mengawal penempatan TKI ke luar negeri dengan mengaplikasikan UU 39 tahun 2004 agar mereka lebih terlindungi. “Penempatan non- prosedural yang dapat dikategorikan sebagai Perdagangan Manusia belakangan ini sangat marak yang sangat mengeksploitasi pekerja,” ujarnya. Menakertrans mengatakan, pemerintah akan mengambil langkah-langkah tegas terhadap semua pelaku yang terlibat. Dan hal ini memerlukan upaya nasional melalui kerjasama yang koordinatif dari seluruh Instansi terkait, khususnya aparat penegak hukum dalam rangka law enforcement UU 21 tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang. Sesuai UU 39 tahun 2004, lanjutnya, penempatan TKI ke luar negeri harus dilengkapi dengan skema asuransi nasional (Indonesia) untuk mengcover segala kemungkinan selama pra, masa, dan purna penempatan, mulai dari sakit, kecelakaan kerja, hingga meninggal dunia. “Kami telah menerbitkan SK Menteri tentang 3 Konsorsium Asuransi untuk melaksanakan amanat UU 39 tahun 2004 tersebut yang telah mampu memberikan kesejahteraan bagi TKI maupun keluarganya,” kata Muhaimin. Dalam setiap agreement G to G yang disusun dengan Pemerintah Negara Tujuan, lanjutnya, aspek kesejahteraan selalu dikedepankan. “Asuransi kesehatan oleh majikan di negara tujuan kepada TKI, gaji yang layak, cuti tahunan dan uang kopensasi lembur menjadi agenda dalam setiap kesempatan pembahasan agreement/MoU. Kemnakertrans juga telah bekerjasama dengan Bank Indonesia maupun Bank-Bank nasional baik dalam hal penyaluran kredit bagi TKI maupun pendidikan pemanfaatan remitansi agar pendapatan mereka lebih produktif melalui promosi UKM maupun Usaha Mandiri setelah mereka kembali ke tanah air. Sumber ↓
Saturday, June 14, 2014
NASIB TKI : Hamil Di Luar Nikah, TKI Asal Karanganyar Dipulangkan
Calon tenaga
kerja indonesia
(TKI) asal
Kabupaten
Karanganyar
tengah
mengikuti
bimbingan teknis
prapemberangkatan di aula Dinsosnakertrans,
Kamis (13/6/2014). (JIBI/Solopos/Indah
Septiyaning W)
KARANGANYAR–Sejumlah
tenaga kerja Indonesia (TKI) asal Kabupaten
Karanganyar yang bekerja di sejumlah negara
terpaksa dipulangkan. Hal ini lantaran mereka
diketahui hamil diluar nikah.
Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi
(Dinsosnakertrans) Karanganyar pun meminta
para TKI kaum hawa untuk tidak pacaran di
tempat kerjanya. Demikian disampaikan Kasi
Penempatan Tenaga Kerja Luar Negeri
Dinsosnakertrans Karanganyar, Marsono dalam
Bimbingan Teknis Prapenempatan Tenaga Kerja
ke Luar Negeri di Dinsosnakertrans, Kamis (12/6).
Dia menyebutkan dari beberapa penyebab
kepulangan TKI wanita, dikarenakan hamil di luar
nikah. Sehingga pekerjaannya menjadi
terbengkalai.
“Karena itu sejak sebelum pemberangkatan, kami
mengingatkan untuk jangan pacaran kelewat
batas. Nanti ndak dipulangkan paksa,” katanya.
Marsono mengatakna bimbingan teknis diberikan
bagi TKI yang akan diberangkatkan. Hal ini untuk
memberikan berbagai pengetahuan nanti selama
mengadu nasib di luar negeri. Dalam kegiatan
bimbingan teknis ini, dia menyebutkan diikuti 20
calon TKI yang direkrut Formal Western Digital,
yakni sebuah perusahaan di Malaysia yang
bergerak di bidang perakitan hardisk. “Sebagian
calon merupakan karyawan baru perusahaan dan
sebagian memperpanjang kontrak yang habis
masa kerjanya,” tuturnya.
Marsono menambahkan bimbingan teknis
bertujuan membekali calon TKI agar siap secara
fisik maupun psikis menjelang keberangkatan, di
antaranya prosedur penempatan kerja, dokumen
pribadi dan aturan bekerja di perusahaan.
Seluruh komitmen wajib dipatuhi mengingat para
TKI ini bekerja di bidang formal alias bukan
tenaga kasar.
Mengenai kasus hamil di luar nikah, lanjutnya,
perusahaan tidak mau mempekerjakannya karena
akan menyulitkan kedua belah pihak, yakni
manajemen dan pekerja. Dinsosnakertran juga
khawatir TKI memutuskan untuk mengakhiri
kehamilannya demi mempertahankan kerjanya di
luar negeri. “Maka dari kami minta jangan
pacaran kebablasan. Sudah banyak kasus yang
dipulangkan,” ujarnya.
Selama ini, dia menuturkan kebanyakan calon TKI
merupakan lulusan SMA/SMK yang berusia muda.
Masing-masing menggunakan jasa agen
pengiriman tenaga kerja berbeda dalam rangka
memberangkatkannya ke Malaysia. Saat ini
jumlah TKI asal Kabupaten Karanganyar di luar
negeri pada tahun lalu terdata 257 orang. Mereka
bekerja di Malaysia, Taiwan, Hongkong, Singapura
dan Brunai Darussalam.
“Masa kerja di perusahaan berkisar dua tahun
dan dapat diperpanjang setahun berikutnya,”
tuturnya.
Sumber solopos.com
Thursday, June 12, 2014
JobsDB-BNP2TKI Kelola Sistem Informasi Pasar Tenaga Kerja Di Luar Negeri
Ilustrasi Tenaga Kerja Indonesia (TKI)
Jakarta - Portal penyedia lowongan kerja, jobsDB
hari ini menandatangani nota kesepahaman
(Memorandum of Understanding/MOU) dengan
Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan
Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) terkait
pengelolaan sistem informasi pasar kerja luar
negeri melalui situs.
"Kerja sama strategis akan menjawab keinginan
para tenaga kerja terampil Indonesia yang ingin
bekerja di luar negeri," ujar Kepala BNP2TKI,
Gatot Abdullah Mansyur saat ditemui di Jakarta,
Kamis (12/04).
Managing Director dan Country Manager jobsDB
Indonesia, Ariadi Anaya menambahkan,
kepercayaan yang diberikan BNP2TKI merupakan
langkah awal untuk melebarkan peluang para
pencari kerja ke luar negeri. Melalui kerja sama
ini, para pencari kerja Indonesia yang akan ke
luar negeri tidak dipungut biaya. "Kami harapkan
dapat mengurangi angka pengangguran dan
memperbaiki taraf hidup masyarakat Indonesia
sekaligus mengurangi praktik calo," ujar Ariadi.
Dalam kerja sama ini akan dilaksanakan berbagai
pelatihan bagi pegawai di lingkungan BNP2TKI,
pengintegrasian situs lowongan kerja online
BNP2TKI dengan aset digital yang dimiliki jobsDB,
serta melakukan promosi sebagai sarana
informasi dan komunikasi ke seluruh wilayah di
Indonesia.
Ariadi menyatakan, jobsDB bersama BNP2TKI
akan segera menghadirkan microsite mengenai
berbagai informasi dan lowongan bekerja ke luar
negeri. "Micrositenya dalam 1-2 bulan ke depan
akan diluncurkan," ujar Ariadi.
Menurut Ariadi, saat membuka situs jobsDB
nantinya dapat meng-klik microsite tersebut.
Microsite ini tidak hanya menginfokan soal
lowongan pekerjaan. Namun juga edukasi
mengenai kisah-kisah sukses orang yang sudah
bekerja di luar negeri, hingga cara bekerja di luar
negeri.
Selain online, realisasi kerjasama ini juga akan
dilakukan secara offline di antaranya dengan
sosialisasi ke sekolah-sekolah maupun jobfair.
Adapun target kerja sama untuk saat ini
merupakan para skill worker.
Penulis: Carla Isati Octama/WBP
Sumber beritasatu.com
Saturday, May 24, 2014
Jumlah Tenaga Terampil Indonesia Rendah di ASEAN
suarasurabaya.net - Asean Economic Community
(AEC) akan mulai diberlakukan di tahun 2015
mendatang. Dengan adanya AEC, salah satunya
mengakibatkan semakin ketatnya daya saing
pekerja atau SDM di lingkup ASEAN.
Nantinya akan banyak tenaga kerja dari luar
negeri masuk ke Indonesia dengan mudahnya.
Mereka akan bersaing demi mendapat pekerjaan
di perusahaan yang ada di Indonesia. Yang
terampil dan ahli tentu akan terpilih dan SDM
yang kurang pasti akan tergerus.
Oleh karena itu, untuk mengantisipasi AEC 2015
ini sangat dibutuhkan sebuah bidang
pengembangan SDM, karena tanpa adanya skill
yang memadai akan sulit bagi kita, SDM
Indonesia untuk bersaing.
Saat AEC sudah diimplementasikan, perpindahan
skilled labour akan bebas diantara negara ASEAN.
Dalamn artian supply tenaga kerja semakin
banyak sedangkan demand cenderung tetap
(dalam konteks dalam negeri).
Dalam konteks ini kualitaslah yang akan
berbicara. Mereka yang memiliki kualitas lebih
baik akan menjadi pilihan sedangkan yang tidak
akan tersingkir dari perlombaan, akibatnya
pengangguran akan meningkat.
Dari data UNDP, Tahun 2012 Kondisi Kesiapan
SDM indonesia dalam menghadapi AEC
memprihatinkan. Human Development Index
(HDI) Indonesia menempati peringkat 121 dari
187 negara yang di komparasikan oleh lembaga
dibawah PBB UNDP.
UNDP menilainya dari kualitas bobot dimensi
kesehatan (0,785), pendidikan (0,577) dan
ekonomi (0,550), dengan total HDI adalah 0,629.
Di tingkat ASEAN sendiri Indonesia ada
diperingkat ke-6 (enam) dan berada di bawah
Singapore, Brunei Darussalam, Malaysia, Thailand,
dan Philipines. Sedangkan dibawah Indonesia
terdapat Vietnam dan Myanmar.
Sementara itu, dari data Asian Productivity
Organization (APO) mencatat, dari setiap 1.000
tenaga kerja Indonesia pada tahun 2012, hanya
ada sekitar 4,3% tenaga kerja yang terampil.
Jumlah itu kalah jauh dibandingkan dengan
Filipina yang mencapai 8,3%, Malaysia 32,6%,
dan Singapura 34,7%. (gk/ain/ipg)
Editor: Iping Supingah
Sumber Jumlah Tenaga Terampil Indonesia Rendah
di ASEAN
Friday, May 9, 2014
Derita TKI: Terus dan Terus Terulang
LAGI, kasus pengiriman tenaga
kerja Indonesia (TKI) ilegal
terjadi di Banua kita,
Kalimantan Selatan (Kalsel).
Untung saja bisa dicegah oleh
petugas keamanan Bandara
Syamsudin Noor serta staf
Badan Pelayanan, Penempatan
dan Pelindungan TKI (BP3TKI)
Banjarbaru.
Seperti beberapa kali
diwartakan koran ini,
pencegahan pengiriman TKI
ilegal itu terjadi dalam situasi
yang dramatis, bahkan bak film.
Betapa tidak, mereka
mengamankan seorang
perempuan yang diduga calo
TKI ilegal dan seorang
perempuan yang dijanjikan
dipekerjakan ke Arab Saudi di
pesawat yang sedang dalam
kondisi siap tinggal landas.
Memang dalam pemeriksaan
tidak ditemukan bukti kuat
untuk bisa menahan, sehingga
keduanya dibebaskan disertai
imbauan tidak mengulangi
perbuatannya. Khusus untuk
calon korban, diimbau untuk
tidak mudah percaya terhadap
janji-janji orang dan perusahaan
yang menyatakan bisa secara
cepat mengirim dan mencarikan
majikan di luar negeri.
Mudah percaya. Itulah kata
kunci dari permasalahan yang
kerap terjadi. Terulang dan
terus terulang. Padahal, media
selalu dan sering mewartakan
kondisi mengenaskan yang
dialami TKI atau buruh migran
ilegal –terutama yang bekerja di
sektor domestik seperti
pembantu rumah tangga (PRT)–
di Arab Saudi. Mereka tidak
hanya mengalami penderitaan
karena kekerasan majikan,
tetapi juga teraniaya secara
‘prosedural’ karena tidak
bertanggung jawabnya orang
atau lembaga yang
menyalurkan.
Ingat juga, pada Juni 2013 lalu,
terjadi kerusuhan yang
menewaskan seorang TKI ilegal
di Konsulat Jenderal Republik
Indonesia (KJRI) di Jeddah, Arab
Saudi. Penyebabnya sebenarnya
sangat tragis bahkan
memalukan negara ini. Yakni,
adanya belasan ribu TKI ilegal
yang berjejal mengurus Surat
Perjalanan Laksana Paspor
(SPLP). Jika para TKI itu bekerja
di Arab Saudi dari penyalur
yang resmi, tentu desak-
desakan yang mengakibatkan
korban jiwa itu tidak terjadi.
Hingga kini, dari dulu hingga
kini, meski sudah ada
moratorium, Arab Saudi masih
‘diidolakan’ oleh sebagian
warga Indonesia, terutama yang
rendah tingkat pendidikannya
untuk mencari mata
pencaharian. Data Badan
Nasional Penempatan dan
Perlindungan TKI (BNP2TKI)
menunjukkan, 1,4 juta TKI
ditempatkan di Arab sejak 2006.
Jumlah itu hampir 40 persen
dari total TKI di negara lain,
yang mencapai 3,9 juta orang.
Itu data resmi, padahal
mungkin lebih banyak yang
melalui jalur tidak resmi.
Anehnya, meski harus
membayar jutaan rupiah, tidak
sedikit yang tertarik. Ada di
antara mereka yang nekat
menjual harta bendanya karena
tergiur iming-iming cepat dan
mudah mendapatkan real,
daripada melalui jalur resmi
yang ‘panjang’ meskipun gratis.
Mungkin tidak pernah
terbayangkan oleh mereka
tentang aneka masalah yang
bakal dihadapi di Arab Saudi
jika datang tidak dari jalur
resmi. Permasalahan paling
pelik, selain tidak adanya
perlindungan hukum untuk
mereka jika mendapat tindak
kekerasan dari majikan, juga
problematik keimigrasian.
Overstay atau waktu tinggal
melewati batas.
Jika itu terjadi, status mereka
langsung berubah menjadi
buron pemerintah Arab.
Kabarnya, tiap tahun ada
ratusan ribu warga Indonesia
yang berstatus overstayer.
Sangat menyedihkan. Dan,
memang tidak bisa disalahkan
jika mereka dianggap
pemerintah Arab Saudi, telah
melawan hukum.
Repotnya, jika mereka
tersandung atau bahkan
terjerat proses hukum, akan
banyak pihak yang terseret
dalam kesibukan untuk
membebaskan mereka.
Memang sudah menjadi tugas
negara atau pemerintah untuk
melindungi warga negaranya,
tetapi juga harus disikapi secara
bijaksana, bila warga negara itu
menuai hukuman karena
kenekatannya melanggar
hukum baik di Indonesia
maupun Arab Saudi.
Permasalahan TKI sudah terjadi
bertahun-tahun. Kami yakin,
pemerintah tentu sudah
memetakan persoalan yang
terjadi. Tentu harapannya, ada
solusi untuk menutup celah
atau kelemahan yang bisa
diterobos oleh mafia TKI untuk
mencari untung.
Sebaliknya, apabila
permasalahan terus terulang
dan solusi yang diharapkan
tidak kunjung mampu menjadi
penyelesaian, wajar bila muncul
pertanyaan atau kecurigaan:
hanya ‘mafia’ sajakah yang
diuntungkan dari keruwetan
penanganan masalah TKI?
Jangan-jangan keruwetan itu
memang dipelihara.
By Terus dan Terus
Terulanga>
kerja Indonesia (TKI) ilegal
terjadi di Banua kita,
Kalimantan Selatan (Kalsel).
Untung saja bisa dicegah oleh
petugas keamanan Bandara
Syamsudin Noor serta staf
Badan Pelayanan, Penempatan
dan Pelindungan TKI (BP3TKI)
Banjarbaru.
Seperti beberapa kali
diwartakan koran ini,
pencegahan pengiriman TKI
ilegal itu terjadi dalam situasi
yang dramatis, bahkan bak film.
Betapa tidak, mereka
mengamankan seorang
perempuan yang diduga calo
TKI ilegal dan seorang
perempuan yang dijanjikan
dipekerjakan ke Arab Saudi di
pesawat yang sedang dalam
kondisi siap tinggal landas.
Memang dalam pemeriksaan
tidak ditemukan bukti kuat
untuk bisa menahan, sehingga
keduanya dibebaskan disertai
imbauan tidak mengulangi
perbuatannya. Khusus untuk
calon korban, diimbau untuk
tidak mudah percaya terhadap
janji-janji orang dan perusahaan
yang menyatakan bisa secara
cepat mengirim dan mencarikan
majikan di luar negeri.
Mudah percaya. Itulah kata
kunci dari permasalahan yang
kerap terjadi. Terulang dan
terus terulang. Padahal, media
selalu dan sering mewartakan
kondisi mengenaskan yang
dialami TKI atau buruh migran
ilegal –terutama yang bekerja di
sektor domestik seperti
pembantu rumah tangga (PRT)–
di Arab Saudi. Mereka tidak
hanya mengalami penderitaan
karena kekerasan majikan,
tetapi juga teraniaya secara
‘prosedural’ karena tidak
bertanggung jawabnya orang
atau lembaga yang
menyalurkan.
Ingat juga, pada Juni 2013 lalu,
terjadi kerusuhan yang
menewaskan seorang TKI ilegal
di Konsulat Jenderal Republik
Indonesia (KJRI) di Jeddah, Arab
Saudi. Penyebabnya sebenarnya
sangat tragis bahkan
memalukan negara ini. Yakni,
adanya belasan ribu TKI ilegal
yang berjejal mengurus Surat
Perjalanan Laksana Paspor
(SPLP). Jika para TKI itu bekerja
di Arab Saudi dari penyalur
yang resmi, tentu desak-
desakan yang mengakibatkan
korban jiwa itu tidak terjadi.
Hingga kini, dari dulu hingga
kini, meski sudah ada
moratorium, Arab Saudi masih
‘diidolakan’ oleh sebagian
warga Indonesia, terutama yang
rendah tingkat pendidikannya
untuk mencari mata
pencaharian. Data Badan
Nasional Penempatan dan
Perlindungan TKI (BNP2TKI)
menunjukkan, 1,4 juta TKI
ditempatkan di Arab sejak 2006.
Jumlah itu hampir 40 persen
dari total TKI di negara lain,
yang mencapai 3,9 juta orang.
Itu data resmi, padahal
mungkin lebih banyak yang
melalui jalur tidak resmi.
Anehnya, meski harus
membayar jutaan rupiah, tidak
sedikit yang tertarik. Ada di
antara mereka yang nekat
menjual harta bendanya karena
tergiur iming-iming cepat dan
mudah mendapatkan real,
daripada melalui jalur resmi
yang ‘panjang’ meskipun gratis.
Mungkin tidak pernah
terbayangkan oleh mereka
tentang aneka masalah yang
bakal dihadapi di Arab Saudi
jika datang tidak dari jalur
resmi. Permasalahan paling
pelik, selain tidak adanya
perlindungan hukum untuk
mereka jika mendapat tindak
kekerasan dari majikan, juga
problematik keimigrasian.
Overstay atau waktu tinggal
melewati batas.
Jika itu terjadi, status mereka
langsung berubah menjadi
buron pemerintah Arab.
Kabarnya, tiap tahun ada
ratusan ribu warga Indonesia
yang berstatus overstayer.
Sangat menyedihkan. Dan,
memang tidak bisa disalahkan
jika mereka dianggap
pemerintah Arab Saudi, telah
melawan hukum.
Repotnya, jika mereka
tersandung atau bahkan
terjerat proses hukum, akan
banyak pihak yang terseret
dalam kesibukan untuk
membebaskan mereka.
Memang sudah menjadi tugas
negara atau pemerintah untuk
melindungi warga negaranya,
tetapi juga harus disikapi secara
bijaksana, bila warga negara itu
menuai hukuman karena
kenekatannya melanggar
hukum baik di Indonesia
maupun Arab Saudi.
Permasalahan TKI sudah terjadi
bertahun-tahun. Kami yakin,
pemerintah tentu sudah
memetakan persoalan yang
terjadi. Tentu harapannya, ada
solusi untuk menutup celah
atau kelemahan yang bisa
diterobos oleh mafia TKI untuk
mencari untung.
Sebaliknya, apabila
permasalahan terus terulang
dan solusi yang diharapkan
tidak kunjung mampu menjadi
penyelesaian, wajar bila muncul
pertanyaan atau kecurigaan:
hanya ‘mafia’ sajakah yang
diuntungkan dari keruwetan
penanganan masalah TKI?
Jangan-jangan keruwetan itu
memang dipelihara.
By Terus dan Terus
Terulanga>
Subscribe to:
Posts (Atom)