http://infobmi.blogspot.com/. Powered by Blogger.
Showing posts with label Pilpres 2014. Show all posts
Showing posts with label Pilpres 2014. Show all posts

Monday, July 21, 2014

KPU tetap umumkan hasil pilpres besok

KPU tetap umumkan hasil pilpres besok

Komisi Pemilihan Umum menyatakan akan tetap mengumumkan penetapan hasil rekapitulasi suara pemilu presiden, Selasa (22/07).


"Tentu akan kami selesaikan malam ini (Senin, 21 Juli 2014) atau besok (Selasa, 22 Juli 2014), dan kemudian akan kami tetapkan," kata anggota KPU, Hadar Gumay, kepada wartawan BBC Indonesia, Heyder Affan, di Kantor KPU, Senin (21/07) siang. Penyataan ini menanggapi tuntutan kubu capres Prabowo Subianto yang meminta KPU menunda pengumuman rekapitulasi suara selama dua bulan, terhitung sejak 22 Juli. Kubu Prabowo beralasan penundaan itu harus dilakukan karena mereka mengklaim ada kecurangan dalam proses penghitungan di sejumlah TPS yang merugikan pihaknya. "Kita minta rekapitulasi ini ditunda dulu sampai selesai masalah," kata Habiburohkman, saksi kubu Prabowo-Hatta di gedung KPU, kepada BBC Indonesia. Salah-satu yang dipersoalkan kubu Prabowo adalah pemungutan suara di 5.814 TPS di Jakarta. Mereka menuntut digelar pemungutan suara ulang di TPS-TPS tersebut. Menurut Hadar Gumay, KPU sudah mengklarifikasi serta mengecek ulang di lokasi-lokasi tersebut. Namun, pihaknya tidak menemukan kecurangan seperti yang diklaim kubu Prabowo. "Sudah cukup berjalan (baik)," kata Hadar.

Tidak bisa pemungutan suara ulang


Tentang usulan pemungutan suara diulang, Hadar mengatakan, sesuai Undang- undang Pemilu, tuntutan pemungutan suara ulang tidak bisa dipenuhi saat ini karena waktunya sudah berakhir. "Pemungutan suara ulang itu maksimal selambatnya 10 hari setelah hari pemungutan suara," kata Hadar. Lagi pula, lanjutnya, setiap masalah seharusnya selesai di setiap tingkatan. Menanggapi rencana gugatan kubu Prabowo Subianto yang akan memperkarakan hasil pemilu ke Mahkamah Konstitusi, Hadar Gumay mengatakan: "Tidak ada masalah, semua pihak punya hak dan kewajiban... Kami akan mengikuti prosedur."

Polisi dan TNI akan mengamankan proses pengumuman hasil rekapitulasi suara pilpres.

TNI menyatakan menjamin tidak akan ada kerusuhan saat pengumuman rekapitulasi.

Sampai Senin (21/07), Prabowo Subianto belum menyatakan secara terbuka untuk mengakui hasil rekapitulasi KPU. Mereka berencana untuk mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi. "Saya kira mengajukan gugatan ke MK merupakan hak konstitusi," kata Aburizal Bakrie, anggota tim pemenangan Prabowo-Hatta. Ditanya apakah rencana gugatan kubu Prabowo ini akan mengurangi "legitimasi" KPU sebagai penyelenggara pemilu presiden, Hadar Gumay mengatakan: "Saya kira tidak." Sebaliknya, katanya, hasil keputusan MK bisa saja menegaskan bahwa hasil pemilu sudah berjalan sesuai harapan. Dia kemudian mencontohkan permintaan gugatan pemilu legislatif ke MK yang jumlahnya mencapai 700 gugatan, tetapi yang dikabulkan "cuma 21". "Jadi jumlah yang sangat sedikit," katanya. Berdasarkan rekapitulasi KPU tingkat provinsi, Jokowi-Kalla unggul 53,15% atas Prabowo- Hatta yang mendapat 46,85%. KPU memasuki penghitungan suara tahap akhir pada Senin (21/07) dan Selasa (22/07) besok. Setelah itu, KPU mengumumkan secara resmi siapa pemenangnya.

Sumber ↓

Gugatan Hasil Pilpres ke MK Takkan Didukung Rakyat

JAKARTA -- Pengamat Politik dari Universitas Airlangga, Haryadi, mengatakan, jika ada gugatan hasil Pilpres yang dilakukan oleh salah satu kubu pasangan capres cawapres diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK), maka hal itu tidak akan mendapat dukungan dan apresiasi dari elemen masyarakat manapun. Bukan itu saja, kata Haryadi, segala bentuk protes baik aksi unjuk rasa dan demonstrasi yang dilakukan ke KPU oleh kubu yang kalah dalam Pilpres, juga akan dianggap angin lalu oleh masyarakat. Railway Rolling Stock IEC webstore.ansi.org "Sebab itu semua akan dianggap hanya prasangka politik yang tak mendasar. Jadi tidak akan mendapat apresiasi masyarakat. Jika masih ada yang mengapresiasi, maka itu sama artinya dengan mengapresiasi prasangka politik yang tak mendasar," kata Dosen Politik di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga (Unair) itu, Minggu (20/7/2014). Haryadi menjelaskan saat ini masyarakat berada dalam tahap yang tenang untuk meninggu hasil Pilpres serta berharap semua kubu yang ada menerimanya dengan lapang dada. Karenanya, kata Haryadi, segala bentuk protes atas hasil Pilpres yang ditetapkan KPU, akan dianggap hanya merupakan instrumen politik untuk mengurangi rasa malu kubu mereka yang kalah atas kontestasinya di Pilpres 2014. "Jadi itu akan dianggap hanya sebagai cara untuk tutupi rasa malu saja. Pilihan langkah yang salah, karena akan menambah malu. Tapi ini bisa dimengerti," katanya. Menurut Haryadi yang penting dan sangat perlu ditegaskan adalah bahwa faktanya kedua kubu, yakni masing-masing pendukung capres telah melakukan pelanggaran atau kecurangan dimana hal itu sudah diatasi di level dimana kecurangan atau pelanggaran itu terjadi. Umumnya, kata dia, pelanggaran atau kecurangan terjadi karena pemilih mencoblos dua kali di TPS yang berbeda. "Solusi coblos ulang sudah dilakukan di beberapa TPS. Sehingga, jika dalam verifikasi dan penetapan hasilnya di level provinsi sampai KPU masih ada protes dan demo, maka hal itu akan dianggap tak lebih sebagai kecurigaan dan prasangka yang tidak berdasarkan fakta saja," katanya. Haryadi menambahkan protes, walk out serta penolakan penandatangan hasil rekap oleh para saksi pendukung Prabowo- Hatta di beberepa provinsi serta saat saat rekap nasional di KPU, nantinya bisa dijadikan dasar sebagai gugatan hasil Pilpres ke Mahkamah Konstitusi (MK). "Sepertinya cara walk-out dan menolak menandatangani berita acara penetapan hasil Pilpres di beberapa provinsi seperti di DKI, Jawa Timur, dan Bangka, tampaknya akan menjadi dasar argumen mereka menggugat kekalahan Prabowo-Hatta ke MK," kata Haryadi. Namun, katanya, sekali lagi hal itu tidak akan mendapat apresiasi masyarakat. Menurutnya kecurigaan adanya kecurangan yang dihembuskan tim pemenangan salah satu kubu hanya sebatas kecurigaan saja dan bukan hal mendasar. "Sebagian besar kecurigaaan kecurangan karena ada warga yang diperbolehkan mencoblos dengan bukti KTP dan keterangan domisili dari kelurahan atau desa setempat, tanpa dilengkapi pengantar surat model A-5 atau surat keterangan pindah mencoblos. Dan itu sudah diatasi dengan pemilihan ulang," katanya. Jadi, tambah Haryadi, basis nalar dari tindakan protes, walk-out, demo dan rencana menggugat ke MK itu hanyalah sebatas curiga saja dan bukan mengacu bukti faktual perihal pelanggaran.(Budi Malau)

Baca Juga ↓< /span>
Mahfud MD Belum Bersedia Ucapkan Selamat Kepada Jokowi-JK Tim Hukum Jokowi-JK Siap Hadapi Gugatan Di MK

Para Relawan Dari Dua Kubu Capres, Adalah Pahlawan Demokrasi

Sumber ↓

Monday, July 14, 2014

Ini Ancaman Hukuman Bagi Penyelenggara Pilpres yang Lalai atau Nakal


Jakarta - Masing- masing kubu capres-cawapres meminta tim proses rekapitulasi suara diawasi secara ketat, terutama karena munculnya sejumlah data C1 yang janggal. Bagi para penyelenggara Pemilu, diminta jangan main-main karena mereka terikat aturan ketat dengan ancaman hukuman bervariasi. Untuk itu, Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) mendesak kepada KPU untuk segera memberikan klarifikasi, memberi penjelasan kepada publik tentang kejanggalan- kejanggalan scan C1. Selain itu, KPU diminta untuk cepat merespon dan bertindak dengan berkoordinasi bersama Bawaslu RI, serta Pihak Kepolisian jika ada potensi atau indikasi pidana pemilu. "Karena telah ditegaskan dalam UU No. 42/2008 tentang Pilpres, pasal 242," ujar Wakil Sekjen KIPP Indonesia Girindra Sandino dalam pernyataanya, Minggu (11/7/2014). Pasal 242 tersebut berbunyi: Anggota KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/kota dan PPK yang karena kelalaiannya mengakibatkan hilang atau berubahnya berita acara hasil rekapitulasi penghitungan perolehan suara dipidana, dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 12 bulan dan denda paling sedikit Rp 6.000.000, paling banyak 12.000.000. Hal tersebut jika ditemukan kesengajaan. Tak hanya itu saja, para penyelenggara Pemilu juga diancam dengan pasal lainnya, jika terbukti melakukan kelalaian yang hilangnya berkas acara. Hal itu diatur dalam Pasal 243 UU Pilpres. "Disebutkan bahwa setiap orang karena kelalaiannya menyebabkan hilang atau rusak berita acara pemungutan suara dan/atau sertifikat hasil penghitungan suara yang disegel dapat dipidana penjara paling sedikit 12 bulan, paling lama 60 bulan dan denda paling sedikit Rp 500 juta, paling banyak 1 Milyar," ujar Girindra. Selain itu, pidana mengenai pelanggaran Pilpres juga diatur dalam Pasal 244. Poin dalam pasal ini mengatur tentang setiap orang yang dengan segaja mengubah berita cara hasil pemungutan suara dan/atau sertfikat hasil penghitungan suara. Pidana penjara paling singkat 12 bulan, paling lama 60 bulan dan denda paling sedikit 500 juta, paling banyak 1 Milyar. Sumber ↓

Sunday, July 13, 2014

Sultan HB: Jangan Sebarkan Isu Pemicu Keresahan di Sosial Media


Tribun Jogja/Hasan Sakri Gazali Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X memperlihatkan jari kelingking yang sudah dicelup tinta, tanda sudah memberikan hak suaranya.
YOGYAKARTA - Gubernur DIY, Sri Sultan HB X mengimbau masyarakat yang aktif di media sosial agar tidak menyebarkan berbagai isu tidak benar terkait hasil Pemilihan Umum Presiden 2014 sehingga menimbulkan keresahan. Selain itu, Sultan juga berharap masyarakat tidak mudah terpancing oleh berbagai isu, baik sebelum maupun sesudah penghitungan suara resmi dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI. "Kami pimpinan daerah baik Polri, TNI serta tim sukses kedua pasangan capres dan cawapres sepakat bersama- sama menjaga kedamian DIY sebelum maupun pasca- pengumuman hasil resmi dari KPU RI," ujar Sri Sultan HB X saat jumpa pers seusai memimpin rapat pimpinan daerah di kantor Kepatihan, Minggu (13/07/2014) petang. Menurut Sultan, di zaman modern seperti sekarang ini, media sosial sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat. Ratusan bahkan jutaan orang setiap hari membaca dan mengikuti perkembangan berita lewat media sosial. Oleh karena itu, isu pun sangat cepat menyebar ke masyarakat. "Silakan saja ber-media sosial. Itukan fungsinya untuk membangun komunikasi antar- anak bangsa. Namun jangan menyebarkan isu yang dapat menimbulkan keresahan- keresahan," tegasnya. Terkait adanya dua versi hasil quick count dari berbagai lembaga survei, Sultan menilai itu bukan hasil resmi. Masyarakat, simpatisan maupun relawan pendukung salah satu pasangan capres dan cawapres harus bersabar menunggu hasil penghitungan resmi dari KPU RI. "Yang resmi kan KPU. Jadi sabar, tunggu saja hasil resminya dari KPU RI pada tanggal 22 Juli mendatang," pungkasnya. Sumber ↓
 

Tag

IP

My-Yahoo

Blogger Widget Get This Widget

Histast

Total Pengunjung