Jakarta- Pertempuran di Mahkamah Konstitusi (MK) antara kubu Prabowo-Hatta dan Jokowi-JK memasuki babak akhir hari ini. Ibarat perang Bratayudha, kedua kubu akan mengeluarkan kartu as masing-masing, yaitu mengajukan para ahli untuk didengarkan keterangannya di depan 'Sembilan Sulaiman'.
Sebagian besar para ahli tersebut adalah rekan-rekan saya yang selama ini menjadi teman berdiskusi, sekaligus teman berdebat dalam banyak hal dan kesempatan. Sekarang mereka berada di sisi yang berbeda dalam menyampaikan keterangan ahli. Sebagian di kubu Prabowo-Hatta, lainnya di Jokow-JK – tentu dengan pertimbangan ideologis atau pragmatis masing-masing.
Bagi ahli yang berada di kubu Prabowo-Hatta, tantangan untuk meyakinkan para hakim pasti sangatlah besar. Menyimak jalannya persidangan sejak 6 Agustus lalu hingga sidang terakhir pemeriksaan saksi-saksi kemarin (14/8/2014), saya berpendapat belum ada kesaksian yang mendukung dalil besar permohonan.
Pertama, dalil bahwa kubu Prabowo-Hatta unggul suara dengan 50,26 persen atau lebih dari 67 juta suara, dibandingkan Jokowo-JK yang diklaim hanya memperoleh 49,74 persen atau lebih dari 66 juta suara. Sepanjang yang dapat saya simak, tak ada satu pun saksi yang menguatkan klaim tersebut hingga pemeriksaan akhir saksi. Hal ini menambah kuat dugaan bahwa klaim unggul suara tersebut hanya 'tempelan'.
Kedua, dalil yang menyatakan bahwa telah terjadi kecurangan yang bersifat terstruktur, sistematis, dan massif (TSM) yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Selain soal kecurangan di hampir seluruh Tanah Papua dan Nias Selatan (Sumatera Utara), klaim kecurangan yang banyak ditonjolkan kubu Prabowo-Hatta adalah masalah Daftar Pemilih Khusus Tambahan (DPKTb)
Putusan 2009
DPKTb adalah daftar pemilih yang menggunakan kartu tanda penduduk (KTP), paspor, atau identitas kependudukan lainnya. Ihwal DPKTb bermula dari putusan MK tanggal 6 Juli 2009 atas permohonan yang pernah saya dan Maheswara Prabandono ajukan.
Pada Pemilu Legislatif 2009 ditengarai banyak warga negara yang mempunyai hak pilih tidak terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT). Angka persisnya tidak ada yang tahu. Variasinya mulai dari jutaan hingga 40-an juta.
Regulasi Pemilu Legislatif 2009 menentukan bahwa hanya mereka yang tercantum dalam DPT yang berhak untuk memilih. Yang tidak tercantum, apa boleh buat, terpaksa harus menjadi golongan yang tidak dapat memilih (goltim), termasuk saya, yang sialnya ternyata tidak tercantum dalam DPT akibat sering berpindah-pindah tempat sebelum hidup menetap seperti sekarang.
Khawatir tidak tercantum lagi dalam DPT, saya dan rekan saya, Maheswara Prabandono, yang kebetulan juga goltim, mengajukan permohonan pengujian UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Yang kami persoalkan ketentuan yang terkait dengan pembatasan bahwa hanya pemilih yang tercantum dalam DPT yang dapat memilih.
Kami menginginkan ketentuan tersebut hapus karena hak untuk memilih (the right to vote) adalah hak asasi manusia yang tidak seharusnya terkurangi karena alasan teknis-administratif seperti tidak tercantum dalam DPT. Padahal, mendaftar semua warga negara yang mempunyai hak untuk memilih adalah kewajiban penyelenggara pemilu, sehingga beban sesungguhnya berada pada mereka, bukan masing-masing pemilih.
Permohonan tersebut akhirnya dikabulkan, namun dengan pembatasan-pembatasan. Pertama, mereka hanya dapat memilih di RT atau RW tempat dikeluarkannya identitas kependudukan (kecuali yang menggunakan paspor dapat memilih di mana saja di luar negeri). Kedua, mereka baru bisa memilih dalam satu jam terakhir, dari pukul 12.00 sampai dengan 13.00.
Dalil Curang DPKTb
Putusan tahun 2009 itulah yang diadopsi oleh Peratuan KPU. Mereka yang memilih dengan KTP atau identitas kependudukan lainnya didaftar dalam DPKTb. Tentu saja, mereka hanya berhak memilih di RT/RW-nya masing-masing pada satu jam terakhir.
Ternyata, angka DPKTb lumayan besar, sekitar 2,9 juta, dan tersebar di puluhan ribu tempat pemungutan suara (TPS). Di antara pemilih dalam DPKTb tersebut, terdapat pemilih yang memilih tidak di lokasinya. Mereka berasal dari luar kota, bahkan dari luar provinsi. Jumlahnya mungkin kurang dari 1 juta, namun hukum administrasi pemilu saat ini menyatakan mereka tidak berhak memilih.
Fenomena inilah yang kemudian digadang-gadang oleh kubu Prabowo-Hatta untuk mengatakan telah terjadi kecurangan TSM oleh KPU. Tuntutannya, Jokowi-JK didiskualifikasi atau diadakan pemungutan suara ulang di seluruh wilayah Nusantara.
Kubu Prabowo-Hatta menggunakan dalil 'bumi hangus', yaitu setiap ditemukan pemilih yang tidak berhak memilih di suatu TPS, wajib hukumnya dilakukan pemilihan ulang di tempat tersebut. Pemilih di satu TPS bisa mencapai angka maksimal 800 orang dan diperkirakan ada puluhan ribu TPS yang dijamah pemilih tidak berhak tersebut. Akibatnya, angka yang dipersoalkan bisa menjadi hampir 20 juta suara, alias sangat signifikan untuk mengejar margin suara sekitar 8,4 juta sebagaimana keputusan KPU tanggal 22 Juli lalu
Sesat Pikir
Saya menilai, terjadi sesat pikir dalam memandang persoalan DPKTb tersebut. Pertama, dalil 'bumi-hangus' tidak seharusnya digunakan. Kalau yang bermasalah hanya satu atau dua orang, tidak boleh mengorbankan ratusan suara lainnya dari pemilih yang tidak berdosa. Bila pemungutan suara ulang hendak dipaksakan karena ada satu atau dua orang yang tidak berhak memilih dalam suatu TPS, akan terjadi ketidakadilan bagi ratusan pemilih lain yang telah menunaikan hak politik secara benar dan bertanggung jawab. Bila diulang, belum tentu mereka bisa memilih kembali. Bisa saja mereka tidak berada di tempat ketika pemilihan ulang dilaksanakan, atau tidak mendapat cukup informasi akan pemungutan suara ulang tersebut.
Kedua, adanya pemilih tidak berhak tersebut tidak lantas bisa dikatakan telah terjadi kecurangan. Rumus kecurangan sangat sederhana, yaitu ada pihak yang diuntungkan dan ada pihak yang dirugikan dengan sebuah tindakan.
Mereka yang tidak berhak memilih tersebut tidak jelas memilih siapa. Siapa yang diuntungkan atau yang dirugikan oleh mereka sangat tidak bisa diketahui kendati kotak suara dibuka sekalipun. Apa yang dilakukan petugas TPS barulah sekadar melanggar administrasi pemilu, tetapi belum bisa dikategorikan sebagai kecurangan, apalagi yang bersifat TSM.
Ketiga, secara substantif, kalau saya hakim konstitusi, akan saya benarkan tindakan membolehkan pemilih dari luar RT/RW tersebut untuk memilih sepanjang mereka hanya memilih satu kali. Alasannya sederhana, hak untuk memilih adalah hak asasi manusia yang tak seharusnya dikurangi dengan alasan teknis-administratif.
Lagipula, dalam pilpres, di mana pun kita memilih, yang tercantum dalam surat suara tetap calon yang sama. Hal ini yang membedakan dengan pemilu legislatif yang diikuti banyak calon dengan pembagian wilayah Nusantara menjadi puluhan daerah pemilihan, sehingga orang harus memilih di dapilnya masing-masing.
Dalil Kualitas Pemilu
Saya menduga, ahli dari kubu Prabowo-Hatta akan menyatakan bahwa tidak bisa ditoleransi bila pemilu dilakukan dengan terjadi banyak pelanggaran kendati sekadar pelanggaran adiministratif, karena akan menciderai konstitusi yang telah mengamanatkan agar pemilu berlangsung secara luber dan jurdil. Oleh karena itu, perlu dilakukan pemungutan suara ulang untuk menjamin keadilan bagi peserta pemilu.
Mengenai fakta tidak signifikannya angka pemilih yang tidak berhak dikaitkan dengan margin 8,4 juta antara Prabowo-Hatta dan Jokowo-JK, ahli tersebut akan mengatakan, “Kita jangan lihat jumlah, tapi kualitas pemilu. Pemilu tidak akan berkualitas bila pelanggaran tersebut dibiarkan!”
Saya tetap ingin menghormati pendapat ahli tersebut, yang sering saya dengar dalam debat-debat di televisi. Bila patokannya yurisprudensi MK selama ini, saya punya keyakinan keterangan tersebut tidak akan diterima. Permohonan akan ditolak.
Namun, sebaliknya, saya pun bisa disela, “yakin boleh saja, tetapi keputusan ada di tangan ‘Sembilan Sulaiman’. Nah, bila segala sesuatunya di tangan sembilan hakim konstitusi, saya berharap ‘Sembilan Sulaiman’ tersebut tidak membuat putusan yang akan mengagetkan kita semua karena di luar nalar, akal sehat, dan pengetahuan yang kita serap selama ini.
Mudah-mudahan, 21 Agustus nanti, sembilan hakim konstitusi keluar dari ‘Sembilan Pintu Kebenaran’ dalam memutuskan gugatan Prabowo-Hatta sehingga semua kita mampu menerima dengan lapang dada dan taat apa pun yang diputuskan mereka.***
Jakarta, 15 Agustus 2014 �
*)Refly Harunadalah pakar hukum tata negara dan pengamat pemilu di Centre for Electoral Reform (Cetro)
By >> detik.com
SURABAYA- Pemprov Jatim memberikan peringatan kepada para Tenaga Kerja Indonesia (TKI) asal Jatim yang bekerja di luar negeri, khususnya negara-negara di Timur Tengah agar waspada terhadap ideologi dan gerakan Negara Islam Irak dan Suriah atau yang dikenal dengan ISIS (Islamic State of Iraq and Syria).
Data Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan Kependudukan (Disnakertransduk) Jatim, pada tahun 2014 ini, jumlah TKI asal Jatim yang bekerja di Timur Tengah mencapai 4.014 orang.
Dari jumlah itu, 2.083 orang merupakan tenaga kerja formal dan 1.931 orang adalah tenaga kerja informal.
Dari jumlah tersebut, terbanyak para TKI bekerja di Arab Saudi (2.573 orang), disusul Uni Emirat Arab (310), Qatar (124), Kuwait (55), Oman (29), Yordania (9), Bahrain (8), Irak (3), dan lainnya (3).
“TKI asal Jatim yang bekerja di Syria (Suriah),” tegas Kepala Disnakertransduk Jatim Edi Purwinarto, Kamis (14/8/2014).
Meski hanya ada tiga orang TKI asal Jatim yang bekerja di Irak, pihaknya tetap minta kepada mereka untuk selalu waspada dan tidak terpengaruh serta ikut terseret oleh gerakan dan paham ISIS
TKI Asal Jatim di Timur Tengah Diminta Waspadai ISIS
Jakarta - Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) akan menutup layanan pembuatan kartu tenaga kerja luar negeri di Bandara Soekarno-Hatta mulai 1 September 2014. Deputi Penempatan BNP2TKI Agusdin Subiantoro mengatakan para calon buruh migran sudah tahu mekanisme pembuatan kartu, sehingga tak perlu disediakan gerai di bandara tersebut. "Layanan pembuatan dipindahkan ke BNP2TKI terdekat dari bandara, yaitu BP3TKI Ciracas dan Tangerang," ujar Agusdin ketika ditemui di kantornya, Senin, 11 Agustus 2014. (Baca: 
Gara-gara dapat pesan singkat (SMS) tipu-tipu yang mengabarkan dirinya mendapat hadiah dari Bank BRI, Risbowati (49) warga Jalan Pucang Asri IX, Perum Pucang Gading, Kelurahan Batursari, Mranggen, Demak, Jawa Tengah harus kehilangan uang senilai Rp 19,9 juta rupiah.
Risbowati yang berprofesi sebagai Ibu rumah mengaku kena tipu ketika dirinya mendapatkan pesan singkat yang mengabarkan bahwa dirinya mendapat hadiah uang Rp 27 juta dari Bank BRI.
"Karena saya menabung di bank itu, jadi saat diterima SMS saya percaya," Kata Risbowati kepada wartawan, saat melapor di SPKT Mapolrestabes Semarang, Jawa Tengah Senin (11/8).
Karena senang mendapatkan kabar gembira, korban langsung menghubungi pengirim pesan singkat dengan nomor 085694253264. Risbowati mengaku menghubungi pelaku untuk mengkonfirmasi tentang hadiah yang dia terima.
"Saat telepon yang menerima seorang pria mengaku bernama Gunawan Siregar, dari BRI Pusat di Jakarta," ungkapnya.
Saat dihubungi, Korban pun diminta untuk mengirim uang melalui mesin anjungan tunai mandiri (ATM) dengan panduan Gunawan Siregar. Dia diminta mengirimkan uang berjumlah Rp 19,9 juta untuk biaya administrasi. Karena percaya, pelapor pun mentransfer uang yang diminta melalui mesin ATM BRI di Jalan Gajah, Semarang pada pukul 14.00 WIB Sabtu (9/8). "Totalnya Rp 19,9 juta uang yang saya kirim," jelasnya.
Selain karena jumlah hadiah yang besar, korban mengaku makin percaya janji penipu tersebut lantaran korban akan mengirimkan hadiahnya setelah uang administrasi diterima pelaku.
Ternyata, omongan manis pria yang mengaku bernama Gunawan Siregar hanya bohong belaka, buktinya hingga hari yang disepakati uang hadiah belum juga diterima oleh pelapor.
Parahnya, saat dihubungi kembali melalui telepon, si Gunawan hilang tanpa kabar bahkan nomor ponsel yang sebelumnya digunakan untuk komunikasi sudah tidak bisa dihubungi.
SMS tipu-tipu yang mengabarkan penerima mendapat hadiah, diperkirakan telah membuat puluhan orang harus kehilangan uang hingga puluhan juta.
Namun begitu, kasus multi yang melibatkan sarana komunikasi itu belum juga terungkap. Hingga saat ini kasus tersebut masih dalam penyelidikan Satreskrim Polrestabes Semarang.
JAKARTA -Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane mengatakan ancaman penculikan Ketua Komisi Pemilihan Umum ( KPU) Husni Kamil Malik oleh Ketua DPD Gerindra Jakarta Muhammad Taufik tidak bisa di bisa dianggap sepele, mengingat kasus penculikan masi merupakan sebuah kejahatan yang menakutkan di Indonesia.
"Ancaman ini jangan dilihat hanya sebagai sekedar gertakan sambal, tapi harus dilihat sebagai sebuah aksi kriminal politik yang tidak hanya mengancam sistem demokratisasi," ujar Neta kepada wartawan di Jakarta, Senin (11/8/2014).
Neta menuturkan, kasus-kasus penculikan yang bersifat kriminal murni masih kerap terjadi di tanah air. Sementara kejahatan penculikan yang bernuansa politik masih menjadi trauma tersendiri bagi bangsa indonesia, mengingat masih banyak aktivis yang diculik pada 1998 hingga kini belum kembali dan masih hilang.
"Sebab itu ancaman penculikan yang dilakukan Ketua Gerindra Jakarta itu adalah sebuah kejahatan politik tingkat tinggi," katanya.
Menurutnya, ancaman itu sebuah sinyal bahwa ada pihak-pihak yang sedang berupaya membangkitkan kekuatan masa lalu dengan aksi penculikan yang pernah mereka lakukan terhadap para aktivis politik.
"Sehingga ancaman itu dalam rangka membangkitkan trauma politik masa lalu yang bisa mengganggu proses Pilpres 2014," tegasnya.
Kuala Lumpur - Pemerintah Malaysia akan mempelajari perlu-tidaknya pemblokiran terhadap Facebook setelah terjadi kasus pelecehan yang melibatkan situs jejaring sosial itu. Menurut Menteri Komunikasi dan Multimedia Datuk Seri Ahmad Shabery Cheek, pihaknya sedang melakukan studi untuk mengumpulkan pandangan publik tentang masalah tersebut.
"Jika orang-orang berpendapat bahwa Facebook harus ditutup, kami siap untuk itu, meski hal ini merupakan pendekatan radikal," katanya kepada wartawan setelah menutup Cheras Wanita Umno Delegates Meeting pada Sabtu lalu.
Meski demikian, Ahmad Shabery, yang juga anggota Dewan Tertinggi UMNO, mengatakan sangat mustahil memblokir media sosial itu. Sebab, dari 15 juta warga Malaysia yang memiliki akun Facebook, hanya 2.000 orang yang melaporkan penyalahgunaan situs untuk tujuan yang tak benar. (Baca: Facebook Mulai Ditinggalkan Kamu Muda)
"Banyak pebisnis yang juga menggunakan Facebook, banyak juga yang memanfaatkannya untuk menjalin ikatan keluarga dan tidak ada hubungannya dengan politik ... dan pengaduan yang diterima adalah sekitar 2.000 saja. Kita perlu melihatnya lagi," katanya. (Baca:



.jpg)


