Mukmainah di KPK (Foto: Nadia/detikcom)
Jakarta - Kisah pilu TKI hampir tidak ada habisnya. Seperti yang dialami Mukmainah, salah seorang TKI asal Tegal yang harus menerima perlakuan tidak menyenangkan saat berada di Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng. Mukmainah yang menjadi TKI di Taiwan ini mendapat perlakuan keji saat dirinya pulang ke Indonesia. Ia mengaku pernah disuruh telanjang oleh oknum bandara lantaran dirinya tak mau menukar uang asing yang dimiliki pada tahun 2011 dan 2012 lalu. "Iya, suruh dibuka baju semuanya, sampai dibawa ke kamar mandi disuruh ikut, cari duit mata uang asing itu," ujar Mukmainah kepada wartawan di Gedung KPK, Jalan HR Rasuna Sahid, Kuningan, Jakarta, Rabu (6/8/2014). Mukmainah datang ke KPK bersama dengan Migrant Care untuk menyampaikan masalah yang menimpanya. Hal ini dilakukan pasca sidak yang dilakukan oleh KPK terhadap maraknya pemerasan TKI di Bandara Soekarno-Hatta pada Jumat (25/7/2014) lalu. Mukmainah bercerita dirinya pernah dipaksa dan digiring ke sebuah ruangan, dia dimintai sejumlah uang sebelum diantar pulang ke rumahnya di kampung. Mukmainah menganggap pihak bandara terlibat dalam aksi tersebut. "Di bandara itu rasanya ada pekerja (menyebutkan lembaga pengurus TKI, red), di situ juga ada yang pakai seragam aparat juga lagi. Trus di situ misal kita diantar sampai ke rumah lalu kita pas mau turun jarak sekitar satu kilometer yang kira-kira mau turun itu disuruh bayar ke sopir. Kami kasih Rp 100 ribu mereka tidak terima, mereka mintanya lebih," ceritanya. Atas kejadian tersebut, Mukmainah langsung melaporkan ke Migrant Care untuk ditindak lebih lanjut. Sebelumnya KPK, UKP4, dan Bareskrim Polri melakukan sidak di Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng, Banten. Menurut Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto pasca sidak, terjadi penurunan praktik calo dan pemerasan. "Angkasa Pura 2, pengelola bandara juga akan segera membuat Posko untuk menampung pengaduan dan menindaklanjuti serta menghubungi Tim Sidak bila ditemukan ada praktek pemerasan lagi," kata Bambang, Senin (28/7/2014).
Sumber
Laporan Wartawan
Tribunnews.com, Eri Komar
Sinaga
Ilustrasi
Ayah durjana perkosa anak kandung selama istri jadi TKI
21 TKI Korban Peyekapan di Batam Dipulangkan ke NTT
Jakarta: Bila
nantinya terpilih menjadi
Presiden RI, baik Prabowo
Subianto maupun Jokowi harus
menghadapi banyak PR yang
belum terselesaikan, salah
satunya perihal tenaga kerja
Indonesia.
Masalah tenaga kerja Indonesia
di luar negeri memang seakan
tidak ada habisnya. Setiap
tahun selalu muncul kasus baru
yang membuat warga Indonesia
merasa miris. Pada 2013 saja,
ada sejumlah kasus
penganiayaan dan
ketidakpastian hukum yang
mendera TKI. Yang paling
menyita perhatian adalah kasus
Wilfrida Soik dan Erwiana
Sulistyaningsih.
Wilfrida adalah TKI asal
Atambua, Nusa Tenggara
Timur. Ia Wilfrida dituduh
membunuh majikannya pada 7
Desember 2010. Buruh migran
itu bekerja pada Yeoh Meng
Tatt untuk menjaga orang
tuanya, Yeap Seok Pen, 60
tahun, yang mengidap penyakit
parkinson.
Dalam pengakuannya, Wilfrida
yang kala itu masih berusia 16
tahun merasa jengkel karena
sering dimarahi dan
diperlakukan secara kasar oleh
sang majikan. Oleh karena itu,
Wilfrida pun akhirnya
membunuh orang tua
majikannya tersebut. Ia
kemudian ditahan di penjara
Pangkalan Chepa, Kota Bharu,
Kelantan sebagai tersangka dan
dituntut berdasarkan Pasal 302
Kanun Keseksaan (Kitab
Undang-undang Hukum Pidana
Malaysia) dengan ancaman
hukuman mati. Setelah
terkatung-katung, pada 7 April
2014, pengadilan akhirnya
memutuskan untuk
membebaskan Wilfrida.
Kisah Wilfrida ini juga sempat
dibeberkan Prabowo dalam
debat capres pada Minggu
(23/6/2014). Dalam debat
bertema Politik Internasional
dan Pertahanan Nasional,
Prabowo sempat menceritakan
pengalamannya saat
mendampingi Wilfrida menjalani
proses hukum di negeri jiran.
Sayangnya, penjabaran
Prabowo hanyalah cerita tanpa
disertai solusi untuk ke
depannya.
Kemudian, masih ingatkah
Anda dengan TKI bernama
Erwiana Sulistyaningsih.
Kisahnya yang tragis di Hong
Kong sempat menjadi perhatian
dunia internasional. Bahkan
nama Erwiana masuk dalam
100 orang paling berpengaruh
di dunia versi Times sejajar
dengan Beyonce Knowles,
Perdana Menteri Jepang Shinzo
Abe, dan Pemimpin Korea
Utara Kim Jong Un.
Erwiana adalah TKI asal Ngawi,
Jawa Timur. Pada 2013, Erwiana
merelakan diri bekerja di negeri
orang dan meninggalkan
keluarganya. Namun, delapan
bulan kemudian, ia kembali ke
Indonesia dengan kondisi yang
memprihatinkan. Tubuhnya
penuh dengan luka, mulai dari
luka ringan, memar, sampai
luka berat hingga dirinya susah
untuk berjalan.
Erwiana telah mengalami
penyiksaan dari majikannya,
seorang ibu dua anak berusia
44 tahun. Sang majikan bahkan
sempat mengancam akan
membuhun keluarga Erwiana jia
ia tidak bekerja dengan baik.
Selain tidak digaji, Erwiana
kemudian dikirim pulang
dengan uang hanya sebesar US
$9 di tangannya. Namun,
nyatanya Erwiana enggan diam,
ia lalu membeberkan kasusnya
dan menunjuk sang majikan
yang telah memberikan siksaan
fisik dan psikis. Dengan
dukungan keluarganya, Erwiana
juga mampu mencari keadilan
dan menjadikan dirinya contoh
agar nasib nahas itu tidak
terjadi kepada warga Indonesia
lainnya.
Kisah tragis tidak hanya
menimpa TKI yang berangkat
secara tidak resmi, bahkan
Erwiana yang berangkat ke
Hong Kong melalui prosedur
dan agensi resmi tetap saja
mengalami penyiksaan. Tidak
sedikit pula TKI yang tak
mendapatkan gaji meskipun
hak itu sudah diperjanjikan
sejak awal. Belum lagi
perlakuan tak manusiawi
lainnya yang dialami sebagian
TKI.
Melihat kasus di atas, baik
Prabowo maupun Jokowi
memiliki pendapat serupa.
Keduanya sepakat bahwa inti
dari permasalahan TKI adalah
seleksi dan penempatan.
Prabowo sepaham dengan Joko
Widodo bahwa TKI harus
menjalani proses seleksi,
pelatihan, dan penempatan
sebelum dikirim ke luar negeri.
Menurut Prabowo, seleksi yang
ketat dan bekal pendidikan
merupakan modal untuk
melindungi TKI di luar negeri.
"Kita harus seleksi, didik dan
siapkan sertifikasi. Karena
banyak tenaga kerja kita yang
diselundupkan. Ini namanya
illegal human trafficking," kata
Prabowo. Dengan seleksi,
Prabowo mengatakan, TKI tidak
hanya akan bekerja sebatas
sebagai pembantu rumah
tangga atau tukang sapu. Lalu,
apakah analisis dan solusi
keduanya bisa menyelesaikan
permasalahan TKI? Kita lihat
saja nanti.(berbagai sumber
Cilacap - Setiap
tahun, para pencari kerja di
tanah air bertarung di lapangan
kerja yang jumlahnya tak
seimbang antara pekerjaan
dengan para pencari kerja.
Tawaran yang diberikan
perusahaan pun tak semuanya
menjanjikan, tetapi tetap saja
antrean para pencari kerja
mengular. Sebagian dari mereka
tak punya pilihan karena harus
menghidupi keluarga. Sebagian
lainnya mencoba peruntungan di
negeri orang dengan menjadi
buruh migran.
Itu pun melalui proses yang
sangat panjang. Saat pembuatan
dokumen, mereka harus rela
berdesakan saat membuat
paspor dengan yang lainnya.
Mereka juga harus belajar
bahasa negara tempat mereka
nanti akan mencari nafkah.
Itu semua merupakan cara
menjadi Tenaga Kerja Indonesia
(TKI) yang legal. Namun, di salah
satu kota di pinggiran Jawa
Tengah, yaitu Cilacap beredar
kabar miring soal praktik
perekrutan ilegal para buruh
migran.
Sponsor adalah calo atau broker
yang tugasnya mencari calon
tenaga kerja yang berminat
bekerja di luar negeri dan
terkadang mengiming-imingi
dengan janji gaji yang
menggiurkan dan majikan yang
baik.
Tak hanya itu, TKI yang
kebanyakan wanita atau yang
biasa dikenal Tenaga Kerja
Wanita (TKW), usianya masih di
bawah umur. Pemalsuan
dokumen pun jadi pilihan tepat.
Nasib para TKW yang telah
direkrutpun terkatung-katung
saat di tempat penampungan.
Bagaimana hal ini bisa terjadi?
Saksikan pada tayangan video
Sigi Investigasi SCTV, Minggu
(22/6/2014).
Sumber
Kata Surya Candra, paspor yang digunakan
kebanyakan adalah paspor wisata atau
pelancong, bukan paspor bekerja ke luar negeri.
Lalu tidak adanya kepedulian dari pihak BP3TKI
untuk melakukan pencegahan dan penangkalan
(cekal) terhadap TKI ilegal. Juga besarnya
kegiatan agensi TKI ilegal di negara ini (Indonesia
-red).
Kemudian, tidak tegasnya pihak Imigrasi dan
Dinas Tenaga Kerja untuk membongkar jaringan
sindikat agensi TKI ilegal. Bobroknya mental
aparatur di atas dan bersikap apatis atas
permasalahan ini dengan mengagungkan uang
sebagai alat pembayaran yang sah untuk
penyelesaian dokumen.
"Lalu masuk kantong pribadi, bukan ke kas
negara sebagai salah satu sumber devisa
negara," ujar Surya Chandra.
Rini R Sari menyebutkan secara teritorial
memang pastilah lebih banyak lewat jalur
Batam, cukup dekat dengan perjalanan laut. TKI
- TKI yang sebagian besar bermasalah, kalau kita
telaah, sebagian besar merupakan TKI dengan
modal nekat saja untuk mengadu nasib.
Modal pas - pasan sehingga tidak mungkin naik
pesawat ataupun ikut jalur resmi. Jadi, mereka
memilih menggunakan kapal laut atau ferri
penyeberangan. Kalau masalah apakah ada
banyak aparat yang disuap di Batam, ya itu
walahualam lah.
"Setiap daerah, terutama pintu perbatasan,
memang rawan godaan seperti itu. Tinggal
kemampuan pemerintah bersikap tegas dan
tertib administrasi, serta mampu melindungilah
yang akan membantu nasib pahlawan devisa
kita itu," ujar Rini R Sari.
Satria Madangkara mengungkapkan, di
Tanjungbalai dan Asahan juga banyak TKI yang
menggunakan dokumen palsu. Nama di pasport
tidak sesuai dengan KTP asli. Banyak
menggunakan paspor tembak. Para pegawai
imigrasi main mata dengan calo.
Unit layanan pengaduan 081392003339
ternyata fiktif. Pengaduan tidak pernah dilayani.
Itulah Indonesia. Semua penuh dengan
kebohongan. Mengadulah sama omak dan ayah.
Hanya mereka yang mau mendengar
pengaduan kita walau kadang mereka tidak bisa
berbuat.
"Itulah, sudah pembongak (pembohong -red)
semua pemimpin ini. Sudah capek bangsa ini
dibongaki, sejak pemilu. Muloi dari pilkades
sampai ke pilpres, masih ada saja manusia yang
peduli dengan sang pembongak. Mungkin
karenab iming - iming duit, jabatan, atau
proyek.
"Tak tahulah awak itu jank. Sebagai orang
bawah yang bodoh kita ini hanya menjadi
penonton," ujar Satria Madangkara.
Willy Pokrol Bambu menyebutkan, apapun
ceritanya ini adalah kesalahan BP3TKI dan
Kementrian Tenaga Kerja , mana mungkin
mereka tidak mengetahui hal tersebut kalau
tidak ada orang dalam yang kerjasama
melegalkan praktek yang salah ini.
Pastinyalah para TKI semua itu tidak mau kerja
dengan menambah masalah baru. Bahkan
banyak TKI yang tertipu dengan iming-iming
legal dan akan dipekerjakan pada tempat yang
baik pula. Sangat miris dengan hal ini. Nasib
tenaga kerja Indonesia sebagai penghasil devisa
untuk negara harus terlunta - lunta.
Bahkan sering berujung pada hukuman di negeri
orang, dikarenakan kepentingan sekelompok
orang yang menghalalkan segara cara dengan
mengekspolitasi tenaga kerja Indonesia.
Pemerintah harus tegas dalam hal penanganan
TKI. "Karena ini merupakan harkat - martabat
bangsa Indonesia. Buatlah peraturan yang lebih
tegas dan perlindungan terhadap TKI kita," ujar
Willy Pokrol Bambu.
Lukman Imen yakin sebenarnya gampangnya.
Kita saja yang pura - pura bodoh menanganinya.
Kenapa banyak keluar dari Batam? Karena Batam
itu dekat ke Malaysia. Kalau dulu banyak dari
Tanjung Balai, sekarang sudah berkurang.
Karena Tanjung Balai sudah dilakukan
penjagaan yang ketat terhadap daerah tersebut.
Tinggal Batam dibuat aturan yang kuat dan
pengawasan yang ketat saja, pasti berkurang.
Penyebabnya yang paling urgen adalah negara
ini tak mampu menyediakan lapangan kerja bagi
rakyatnya, sehingga rakyat harus mencari
penghidupan di negara lain.
Para TKI itu ke sana karena kebutuhan ekonomi
yang memaksa. Kita harus acungkan jempol
untuk mereka. Jadi, pemerintah harus
menanggung biaya para TKI yang mau
berangkat ke luar negeri, bukan membebani
mereka dengan biaya - biaya yang tinggi.
"Karena dengan berangkatnya mereka ke sana,
berarti mengurangi pengangguran dan
mendatangkan devisa bagi bangsa ini. Jadi,
kenapa mereka tidak difasilitasi oleh negara,"
tegas Lukman Imen.
Sumber




.jpg)


