Karanganyar, HanTer -
Jatuhnya pesawat Malaysia
Airlines MH-17 di Ukraina
mengundang duka bagi keluarga
Harto Wiyono (70), dan istrinya
Sriyantun (65), warga Dusun
Sidorejo, RT11/II, Desa Munggur,
Kecamatan Mojogedang,
Karanganyar.
Anak pertama mereka, Supartini
(39), ternyata menjadi korban
tertembaknya pesawat jurusan
Amsterdam-Kuala Lumpur
tersebut.
Menurut Purwanto (47), kakak
sepupu korban mengatakan,
Supartini merupakan Tenaga
Kerja Indonesia (TKI) yang
bekerja di Den Haag, Belanda
sejak 3,5 tahun lalu. Selama
bekerja di Negeri Kincir Angin, dia
memang belum pernah pulang
kampung.
Selain Supartini, anak keempat
dan kelima mereka, yaitu Murtini
dan Paryati, juga bekerja di Den
Haag. Keduanya memang diajak
Supartini untuk bekerja di
Belanda. Bahkan, Paryati bekerja
satu rumah dengan Supartini.
Hanya Murtini bekerja di rumah
yang berbeda, namun masih satu
kota. Ketiganya sebenarnya
pulang ke Indonesia, namun
dengan waktu dan pesawat yang
berbeda.
Sehari sebelumnya, Murtini telah
pulang dengan naik pesawat
Singapura Airlines. Sedangkan
Paryati naik pesawat Fly Emirates.
Mereka bertiga mendapat cuti
sekitar satu bulan.
“Supartini dan Paryati berangkat
ke bandara bersama sama, tapi
jam berangkatnya berbeda,
karena pesawatnya juga
berbeda,” ungkap Purwanto, saat
ditemui di rumah duka, Jumat
(18/7).
Supartini berangkat terlebih
dahulu sekitar pukul 12.00 waktu
setempat dengan pesawat MH-17
yang akhirnya mengalami celaka
dalam perjalanan. Sedangkan
Murtini pukul 17.00 waktu
setempat. Sementara Partini telah
tiba di rumahnya di Mojogedang.
Supartini dan kedua adiknya
bekerja di Belanda sebagai
pekerja rumah tangga. Setelah
3,5 tahun bekerja di luar negeri,
ketiganya terhitung sukses.
Pendapatan mereka jika
dirupiahkan mencapai Rp25 juta/
bulan.
Rata-rata setiap bulan, mereka
mengirimkan uang ke
keluarganya masing masing
sekitar Rp15 juta/bulan. Khusus
Supartini mengirimkan uang
kepada ibunya karena statusnya
janda beranak satu.
“Anaknya namanya Narika,
umurnya sekitar 12 tahun dan
baru masuk SMP,” ungkapnya.
Karena pendapatannya cukup
besar, Supartini telah mampu
membuat rumah di belakang
rumah orangtuanya. Begitu pula
dengan kedua adiknya. Selain
membangun rumah, ketiganya
juga urunan untuk membeli
mobil bagi orangtuanya.
Selain menjenguk orangtua dan
anaknya, Supartini sebenarnya
juga ingin membeli berbagai
perabot untuk mengisi rumah
yang baru selesai dibangun.
Namun keinginan itu tinggal
kenangan setelah pesawat yang
ditumpangi mengalami celaka.
Keluarga besar Harto Wiyono
mendapat kabar bahwa pesawat
mengalami kecelakaan dari berita
di televisi. Mereka lalu berusaha
mengecek apakah Supartini
menjadi salah satu penumpang.
“Saya langsung cari tahu. Dari
tiketnya (Supartini) saya suruh
menyamakan tiketnya (yang
tertulis di media) apakah nomor
penerbangannya sama dengan
yang di media atau tidak.
Ternyata sama. Keluarga di sini
benar-benar syok,” bebernya.
Kepastian diperoleh setelah pihak
keluarga mendapatkan informasi
dari KBRI di Belanda. Dari
keterangan yang didapatkan,
KBRI di Belanda yang akan
mengurus kepulangan jenazah
Supartini jika memang dipastikan
meninggal dunia.
Sebelum kejadian, pihak keluarga
sama sekali tidak mendapat
firasat apapun. Sebelum pulang
ke tanah air, Supartini juga
mengontak pihak keluarga.
“Sama istri saya juga telepon,
pesan katanya kita ketemu di
Indonesia ya,” kenang Purwanto.
Sebelum bekerja di Belanda,
Supartini juga pernah ke Korea,
Singapura, Hongkong dan
Taiwan. Dia bekerja jadi TKI
sebelum punya anak. Kedua
orangtua dan anaknya sangat
syok dengan kejadian yang
dialami.
Seharusnya, jika tidak terjadi
insiden memilukan, Supartini
sudah kembali ke kampung
halaman Jumat 18 Juli 2014 siang.
Namun, kini pihak keluarga
hanya bisa pasrah dan berharap
agar jenazah Supartini bisa segera
dipulangkan ke kampung
halaman.
Sumber ↓